kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengukur Dampak Pemerintah Stop Insentif Pajak


Senin, 30 Mei 2022 / 21:30 WIB
Mengukur Dampak Pemerintah Stop Insentif Pajak
ILUSTRASI. Petugas membantu wajib pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak di KPP Pratama Pondok Aren,


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah insentif pajak yang berikan oleh pemerintah pada tahun ini akan berakhir dalam waktu dekat. Di antaranya, pemberian insentif pajak untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh final jasa konstruksi Ditanggung Pemerintah (DTP) atas Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI), yang berlaku sampai dengan Juni 2022.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pencabutan insentif pajak pada bulan Juni mendatang diperkirakan akan mendorong peningkatan dari beban bisnis usaha sehingga kinerja profit akan cenderung menurun.

“Penurunan ini kemudian berpotensi berdampak pada perlambatan investasi di paruh kedua tahun 2022,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Senin (30/5).

Namun menurut Josua, normalisasi sistem perpajakan ini tetap diperlukan segera agar pertumbuhan ekonomi tetap sustained di jangka panjang.

Baca Juga: Kemenkeu Sudah Terima Rp 10,73 Triliun dari Tax Amnesty Jilid II

Ia juga melihat, seiring dengan semakin dibukanya perekonomian dan daya beli masyarakat yang meningkat, dampak dicabutnya insentif pajak tidak akan terlalu berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara umum.

Dihubungi berbeda, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat banyak dampak terhadap perekonomian apabila insentif pajak tidak diperpanjang.

Untuk sektor yang masih membutuhkan insentif pajak, menurutnya pemberhentian insentif pajak akan sangat berdampak pada sektor tersebut karena masih berada dalam tahap pemulihan ekonomi.

“Sehingga beragam bentuk insentif dari pemerintah tentu masih sangat diperlukan,” tutur Yusuf kepada Kontan.co.id.

Sementara pada sektor yang notabenenya sudah tumbuh di sepanjang tahun lalu dan juga tahun ini akan merasakan dampak meskipun relatif lebih sedikit jika pemerintah memutuskan untuk memberhentikan insentif pajak di bulan Juni nanti.

Sehingga menurutnya, masih adanya sektor yang belum pulih dan untuk memastikan bahwa masa transisi pemulihan ekonomi berjalan lancar, maka pemerintah perlu mempertimbangkan kembali untuk memperpanjang masa pemberian insentif pajak terutama bagi kelompok lapangan usaha yang diperkirakan masih akan berada dalam fase pemulihan ekonomi pada tahun ini.

Adapun kelompok lapangan usaha yang dimaksud seperti industri manufaktur terutama untuk sub industri tekstil dan produk tekstil, serta jasa yang berkaitan dengan pariwisata.

Menurutnya, hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses pemulihan ekonomi berjalan secara merata dan tidak hanya terpusat atau fokus ke beberapa sektor saja.

Dengan lebih meratanya pemulihan ekonomi ke beragam sektor tentu upaya pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi di tahun ini menjadi semakin terbuka lebih lebar.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, beberapa insentif pajak yang berkaitan dengan penanganan pandemi memang bisa dikurangi sejalan dengan terlewatinya masa krisis Covid-19.

Seperti insentif pembebasan tas pemberian fasilitas terhadap barang dan jasa dalam rangka penanganan pandemi serta insentif lainnya yang berkaitan dengan penangan pandemi. “Insentif itu sangat rasional dikurangi bahkan di stop,” tutur Bhima.

Baca Juga: Insentif PPh Pasal 25, PPh 22 Impor, dan PPh Final Tidak Akan Diperpanjang

Namun berkaitan dengan insentif fiskal untuk dunia usaha, Bhima menyarakan pemerintah untuk melakukan evaluasi terlebih dahulu mengenai efektivitas dan relevansi terhadap dukungan pemulihan ekonomi.

Adapun evaluasi bisa dimulai dari pengurangan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) penerima insentif pajak.

“Contohnya di sektor industri manufaktur ada 127 KBLI, perlu seleksi KBLI yang sudah tahap pulih omzet atau output produksinya dengan jenis usaha yang masih mengalami kesulitan,” jelasnya.

Lebih lanjut Bhima menuturkan, meski permintaan secara agrerat baik ekspor dan domestik meningkat, ada usaha seperti tekstil pakaian jadi yang mengalami kendala mengenai kenaikan bahan baku impor sehingga perlu untuk dilanjutkan insentifnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×