Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan mengimplementasikan pajak karbon pada 1 April 2022. Hal ini untuk menekan smisi karbon merupakan bentuk eksternalitas negatif yang menghambat pertumbuhan ekonomi hijau.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengatakan kebijakan yang dapat digunakan untuk menanggulangi eksternalitas negatif tersebut yakni melalui carbon pricing atau nilai ekonomi karbon, sebagai pemberian harga/valuasi atas emisi gas rumah kaca.
“Hal ini dapat membantu penerapan praktek polluters pay principle di mana pihak yang melakukan pencemaran akan menanggung harga polutan yang dikeluarkan dengan harga nilai ekonomi karbon,” kata Masyita kepada Kontan.co.id, Minggu (19/12).
Dengan begitu, carbon pricing dapat mengkoreksi market failure dengan memanfaatkan kebijakan pasar. Kemudian pada akhirnya memberikan sinyal negatif pada sektor yang memiliki emisi gas rumah kaca yang tinggi. Sebaliknya, dapat memberikan insentif kepada sektor yang memiliki emisi gas rumah kaca yang rendah.
Lebih lanjut, Masyita mengatakan di Indonesia, penanganan eksternalitas negatif emisi melalui nilai ekonomi karbon akan dilaksanakan melalui mekanisme cap and trade dan cap and tax. Sehingga, pajak hanya dikenakan pada emisi di atas cap masing-masing sektor.
Baca Juga: Lewat program target neutral, BP-AKR kurangi 45.000 emisi karbon per tahun
Dengan dua mekanisme tersebut, pelaku usaha didorong untuk melakukan aksi mitigasi perubahan iklim guna menekan pengurangan emisi di bawah batas atas emisi (cap).
Kedua skema tersebut telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 yang merupakan kerangka operasional Nilai Ekonomi Karbon.
Adapun implementasi pajak karbon disahkan melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pajak karbon akan ditetapkan secara bertahap dengan prioritas pada pemulihan ekonomi.
Untuk tahap awal pada 1 April 2022, pajak karbon akan mulai ditetapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dengan tarif Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (COe2) atau satuan setaranya.
Mekanismenya dengan menetapkan cap atau batas maksimal emisi untuk tiap sektor dan pajak akan ditetapkan pada emisi di atas cap tersebut, bukan atas keseluruhan emisi.
Kebijakan yang akan diterapkan pada awal kuartal II-2021 itu hanya dikenakan kepada usaha di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ini mengingat bahwa PLTU banyak menghasilkan emis gas rumah kaca karena penggunaan batubara sebagai pembangkit listrik.
“Untuk penetapan lanjutan, baik tarif maupun sektor yang akan dikenakan akan dievaluasi secara berkala dengan memperhatikan banyak hal termasuk pemulihan ekonomi dan dampak terhadap penurunan emisi,” ujar Masyita.
Walaupun begitu, valuasi dan penyesuaian terhadap seluruh sektor akan terus dilakukan pemerintah secara bertahap. Tentunya dengan melihat kesiapan masing-masing sektor dan juga akan memperhatikan prinsip keadilan, keterjangkauan serta langkah-langkah pemulihan ekonomi.
Di sisi lain, Masyita menyampaikan pajak karbon di Indonesia juga akan dilengkapi oleh mekanisme perdagangan karbon. Mekanisme perdagangan karbon tersebut akan dapat berlaku ke dalam jumlah selisih tingkat emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh produsen dengan nilai cap yang diterapkan.
Masyita bilang jumlah yang menjadi hasil selisih angka tersebut dapat diperjualbelikan di bursa perdagangan karbon. Rencananya akan diimplementasikan sepenuhnya pada tahun 2025.
Baca Juga: Ada Insentif, Dicari Investor Energi Hijau
Sementara itu, ia menegaskan penerapan pajak karbon memiliki keuntungan dalam mendukung pemulihan hijau yang adil dan berkelanjutan. Seperti yang disebutkan di dalam UU HPP, alokasi penerimaan pajak karbon akan di alihkan kepada sektor yang ramah lingkungan.
Selain itu, untuk memberikan dukungan kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah agar dapat adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
“Hal ini penting untuk memastikan Indonesia dapat mencapai Nationality Determined Contribution (NDC) secara inklusif,” ujar Masyita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News