kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Meneropong nasib BUMN dalam revisi UU Kepailitan


Kamis, 27 September 2018 / 22:12 WIB
Meneropong nasib BUMN dalam revisi UU Kepailitan
ILUSTRASI. FGD menggagas UU Kepailitan


Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam naskah akademik revisi UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diusulkan kebal permohonan pailit dari luar pemerintah. Meski demikian, hal ini masih jadi perdebatan.

Pengamat BUMN sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu sepakat dengan hal tersebut. Alasannya, jika terjadi masalah terhadap BUMN, akhirnya pemerintah yang harus bertanggung jawab.

"Apapun bentuknya, baik Perum maupun Persero, memang yang berhak mengajukan pailit kepada BUMN itu adalah pemerintah sendiri," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (27/9).

Hal ini menurutnya agar mencegah BUMN jatuh pailit lantaran utang yang tak seberapa.

"Jangan karena utangnya tak seberapa kemudian mengajukan permohonan, dan BUMN dinyatakan pailit. Meskipun memang perlu diakui untuk yang sudah go public perlu ketentuan yang lebih jelas," sambungnya.

Pendapat berbeda datang dari Anggota Kelompok Kerja (Pokja) revisi beleid kepailitan Imran Nating. Menurutnya alih-alih menentukan siapa yang berhak mengajukan pailit kepada BUMN, revisi harusnya berfokus kepada klasifikasi BUMN.

"Kalau mengacu kepada UU 37/2004, BUMN yang menyelenggarakan kepentingan publik memang hanya bisa diajukan pailit oleh Kementerian Keuangan. Nah definisi ini yang sebenarnya yang harus diperjelas," imbuhnya.

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (5) UU 37/2004, yang dimaksud penyelenggaraan kepentingan publik adalah BUMN yang dimiliki penuh oleh negara, dan tidak terbagi atas saham-saham.

Dengan penjelasan demikian, jika merujuk UU 40//2007 tentang Perseroan Terbatas, otomatis hanya BUMN dengan bentuk Perum yang hanya bisa diajukan pailit oleh pemerintah. Sedangkan yang berbentuk Persero bisa diajukan oleh siapa saja.

"Yang berbentuk Persero ada yang memang didirikan bertujuan komersial, tapi memang ada juga yang didirikan untuk kepentingan publik. Tapi ini memang masih jadi perdebatan dalam proses revisi sebenarnya," lanjut Imran.

Sekadar informasi, usul soal kewenangan pengajuan pailit, diusulkan pula untuk Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) James Purba mencatat, bahwa sepanjang kasus kepailitan BUMN di Indonesia, tidak ada yang berakhir inkrah, alias memiliki kekuatan hukum tetap. Alasannya, putusan pailit di pengadilan niaga kerap kandas di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali.

"Dari catatan kepailitan di Indonesia setidaknya ada tiga BUMN yang pernah dinyatakan pailit, PT Dirgantara Indonesia (persero); PT Iglas (persero); dan PT Istaka Karya (Persero). Tapi status kepailitannya dibatalkan entah di tingkat kasasi, maupun peninjauan kembali," katanya kepada Kontan.co.id.

Status pailit Dirgantara Indonesia dicabut pada tingkat kasasi, sementara Iglas, dan Istaka di tingkat Peninjauan Kembali. Sementara dalam UU 37/2004 opsi kasasi dan kepailitan memang terbuka bagi para pihak guna menganulir putusan di pengadilan niaga. Catatan saja, dalam perkara kepailitan dan PKPU, tak mengenal upaya banding di pengadilan tinggi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×