kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Mencekam, saat terkunci di gerbong KRL


Selasa, 10 Desember 2013 / 05:51 WIB
Mencekam, saat terkunci di gerbong KRL
ILUSTRASI. Petugas melayani transaksi nasabah di Bank Syariah Indonesia cabang Pondok Gede Bekasi, Jawa Barat. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa

Tak pernah terbayang di benak saya akan merasakan tragedi memilukan saat Kereta Api Listrik (KRL) Commuter Line Serpong–Tanah Abang nomor 1131 menabrak truk tangki minyak Senin (9/12). Kepanikan penumpang terasa mencekam saat kami terkunci beberapa menit di satu gerbong.

Tidak ada firasat apapun saat saya seperti biasa antre tiket di Stasiun Jurang Mangu untuk berangkat kerja. Hanya saja, kereta yang seharusnya sudah datang pukul 10.41 WIB molor. Menurut petugas stasiun, kereta masih menjalani perbaikan gerbong di Stasiun Serpong.


Kereta baru datang di Stasiun Jurang Mangu sekitar pukul 11.05 WIB.


Selang beberapa menit setelah saya merangsek masuk di gerbong tiga, kereta melakukan pengereman mendadak yang membuat penumpang yang berdiri serempak ambruk. Penumpang pun mulai histeris, saat terjadi pengereman kedua rem yang lebih kencang disertai suara benturan keras.


Sesaat kemudian penumpang mulai berdesakan ke belakang untuk berlari ke gerbong empat. Maklum saja, dari gerbong depan terlihat asap hitam mulai mengepul disertai jilatan api besar.


Beberapa penumpang pria mulai menggedor gedor kaca jendela untuk mencari jalan keluar. Sebab pintu kereta terkunci rapat sehingga penumpang makin panik dan histeris. Tidak ada alat dan petunjuk yang jelas bagaimana caranya penumpang bisa menyelamatkan diri di tengah situasi darurat seperti itu.


Baru sesaat kemudian pintu bisa terbuka sebagian. Berikutnya penumpang berebut keluar menyelamatkan diri. Kami bahu membahu turun dari kereta meskipun jarak pintu kereta dengan tanah sangat tinggi. Bahkan sangat kesulitan untuk membantu seorang pria difabel yang mengenakan tongkat penyangga.


Sesaat setelah keluar dari gerbong maut saya baru menyadari kereta yang saya tumpangi telah menabrak sebuah truk tangki bahan bakar minyak yang mengangkut 24 kiloliter solar, tepat di perlintasan pondok betung, antara stasiun Pondok Ranji dan Kebayoran Lama. Kecelakaan itu menyebabkan sekitar lima orang tewas, dan puluhan orang terluka.


Kejadian ini jelas mengagetkan bagi saya yang baru beberapa pekan beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum massal. Ditambah lagi tidak ada petunjuk keselamatan yang jelas di sekitar bangku penumpang, mengenai apa yang harus dilakukan pada saat kondisi darurat.


Kegalauan yang sama dirasakan oleh Marantina, penumpang kereta yang saat kejadian berada di gerbong terakhir rangkaian kereta naas. Meski demikian, kecelakaan ini tidak membuat dia trauma dan berniat untuk beralih ke moda transportasi umum lainnya.


Entah siapa yang salah atas kejadian ini? Namun yang pasti, baik pemerintah maupun PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan penggelola Commuter Line harus lebih serius memikirkan sistem keselamatan.


Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengingtkan, sesuai Undang-Undang (UU), maka keamanan dan sarana perlintasan kereta api adalah tanggung jawab Kementerian Perhubungan (Kemhub) dan pemerintah daerah (pemda). Selain itu di UU nomer 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian menyebutkan bahwa perkeretaapian dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah.


Dengan perbaikan sistem keamanan bukan tidak mungkin masyarakat akan tetap memilih kereta api sebagai alat transportasi sehari-hari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×