Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto
JAKARTA. Rencana pemerintah untuk ikut dalam Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP) masih menjadi polemik berbagai pihak.
Banyak pihak yang meragukan rencana itu bakal menguntungkan lantaran mayoritas produk ekspor Indonesia adalah komoditas.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemdag) Bachrul Chairi mengatakan, implementasi TPP masih cukup lama.
Seluruh negara peserta TPP harus melakukan proses amandemen berbagai aturan dan membutuhkan waktu minimal dua tahun.
Meski tidak merinci, Bachrul bilang dalam prosesnya akan ada pertemuan-pertemuan antara pemerintah dengan konggres.
"Kalau di Amerika tidak melakukan amandemen, maka TPP kehilangan maknanya," kata Bachrul, kemarin.
Bagi negara yang sudah tergabung dalam TPP, maka syarat-syaratnya tidak dapat ditawar lagi. Jadi, untuk negara-negara yang setuju dengan ketentuan yang ada dalam TPP maka dapat melanjutkan kerjasama tersebut, sebaliknya, bagi negara-negara yang keberatan maka dapat keluar.
Tjahja Widayanti Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP) mengatakan pihaknya telah selesai merampungkan kajian terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam TPP.
"Kita (BP2KP) sudah selesai (kajian), kita sampaikan ke Dirjen KPI kemudian sampaikan ke pak menteri," kata Tjahja.
Sekadar catatan, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota TTP tersebut, diantaranya menyangkut akses pasar berupa barang, jasa dan investasi sehingga perlu adanya perubahan regulasi di masing-masing negara peserta.
Eksklusifitas badan usaha milik negara (BUMN) dalam TPP akan dikurangi hak-haknya.
Enny Sri Hartati Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bilang, pemerintah harus melihat secara menyeluruh kesiapan Indonesia masuk TPP.
"Kita tidak bisa latah, hanya karena Malaysia dan Vietnam masuk," kata Enny.
Pemerintah harus melihat struktur komposisi ekspor Indonesia.
Selama ini, mayoritas ekspor adalah komoditas.
Mengutip data Indef, hingga September 2015 dominasi ekspor Indonesia sebesar 79,6% berupa komoditas, sedangkan sisanya berupa produk industri dan manufaktur.
Nilai tersebut bertolak belakang dengan kondisi di Vietnam yang ekspor produk manufakturnya sudah mencapai 76%, sedangkan Malaysia sebesar 55%.
"Ketika struktur ekspor masih didominasi komoditas, perlu dipikirkan," ujar Enny.
Menurut Enny, kalau hanya pasar Amerika Serikat yang disasar dalam perdagangan, langkah yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan melakukan kerjasama bilateral atau Mutual Recognition Arrangement (MRA).
Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Bayu Krisnamurti mengatakan, ikut atau tidaknya Indonesia dalam TPP harus dibarengi dengan langkah-langkah strategis.
"Kalau tidak melakukan apa-apa pasti kalah dari beberapa negara Asean yang sudah masuk. Apalagi tahun depan MEA, kita hanya menerima dampaknya," kata Bayu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News