kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Manfaat Besar Bagi Indonesia dari Aturan Pajak Perusahaan Multinasional


Senin, 18 Juli 2022 / 16:33 WIB
Manfaat Besar Bagi Indonesia dari Aturan Pajak Perusahaan Multinasional
ILUSTRASI. Kontan - KOMINFO Kilas Online


Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal

KONTAN.CO.ID - Kesepakatan pajak perpajakan terhadap perusahaan multinasional dalam dua pilar oleh kelompok negara G20 diperkirakan masih menghadapi tantangan. Soal perpajakan akan akan menjadi salah satu topik saat pertemuan Presidensi G20 yang akan digelar di Bali pekan ini.

Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda mengatakan, pembahasan perpajakan perusahaan multinasional termasuk alot. Negara- besar yang memiliki kepentingan relatif menolak kesepakatan itu.

Amerika Serikat pasti akan keberatan apabila perusahaan digital semacam Netflix dikenakan pajak penghasilan. Padahal perusahaan itu mempunyai pendapatan dan keutungan dari negara lain seperti Indonesia.

"Kepentingan dari negara maju di dalam pembahasan ini kuat," kata Huda pada Kontan.co.id, Jumat (8/7).

Jika perpajakan perusahaan multinasional global diterapkan sesuai dua pilar yang sudah disepakati, menurut Huda, manfaatnya bagi Indonesia akan besar. Terlebih bagi pemasukan kas negara. Apalagi melihat, perusahaan-perusahaan seperi Netflix, Google dan perusahaan lain berbasis digital memiliki transaksi besar di Indonesia.

Sedangkan Indonesia merupakan negara dengan ekonomi digital terbesar di Asean. Sehingga memberikan potensi bisnis besar bagi perusahaan-perusahaan multinasional tersebut.

Pengamat Ekonomi, Bhima Yudhistira juga menilai, penerapan pajak minimum terhadap perusahaan multinasional global yang sudah disepakati akan membawa dampak besar terhadap Indonesia. Dengan kesepakatan itu, Indonesia tidak perlu obral insentif pajak yang bisa menggerus rasio pajak, hanya agar bisa mendapatkan investasi asing.

"Jadi global minimum tax ini akan membuka satu paradigma pada persaingan antar negara yakni persaingan untuk mendorong daya saing kualitas produk. Kebijakan mengobral pajak ternyata merugikan banyak negara," jelasnya.

Menurutnya, tantangan pajak internasional bagi negara yang sudah sepakat lebih pada teknis administrasi.  Di sisi lain, masih banyak negara yang bersaing dalam hal penurunan tarif pajak. Oleh karena itu, ratifikasi itu harus segera.

"Selama masih ada negara tax haven dan mereka belum meratifikasi aturan pajaknya maka dikhawatirkan terjadi perpindahan kantor-kantor pusat perusahan multinasional ke negara itu,” jelas Bhima.

Artinya, walau negara  G20 dan OECD sudah berkomitmen, perlu ada tekanan secara global agar negara-negara surga pajak ikut ratifikasi juga. “Selama negara tax haven berjalan parlelel masalah pajak antar negara belum tentu akan bisa diselesaikan," papar Bhima.

Pilar pertama kesepakatan pajak internasional adalah unified approach. Pilar ini mengatur perusahaan multinasional dengan peredaran bruto dan keuntungan tertentu. Dapat dikenakan pada sektor digital yang selama ini menjadi isu antara negara G-20 dan seluruh dunia.

Sementara pilar kedua, Global anti-Base Erosion Rules (GloBE). Ini dapat mengurangi kompetisi pajak serta melindungi basis pajak melalui penetapan tarif pajak minimum secara global. Pilar tersebut menjadi solusi pemajakan pada perusahaan-perusahaan yang bergerak antarnegara sehingga memungkinkan terjadinya upaya menghindari pajak.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara dalam Global Tax Policy Webinar yang diselenggarakan oleh Harvard Kennedy School - Irish Tax Institute mengatakan, Indonesia siap menantikan implementasi kedua pilar tersebut.

“Kami sangat ingin melihat dampak dari pilar satu terhadap implementasi di Indonesia. Di sisi lain, pilar dua bertujuan untuk mengatasi base erosion and profit shifting (BEPS), 15% pajak minimum global untuk meminimalkan risiko BEPS untuk memastikan  perusahaan multinasional dengan omzet global dalam jumlah tertentu akan membayar pajak minimal 15 persen dimanapun mereka beroperasi,” jelas Suahasil.

Pilar kedua ini sangat penting bagi Indonesia. Ssebagai negara berkembang, Indonesia merupakan salah satu sasaran investasi global.

“Indonesia menyambut pajak minimum global sebesar 15% sebagai cara untuk memastikan bahwa hal ini akan cukup untuk memobilisasi sumber daya domestik serta modal dari global,” terang dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×