Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Umar Idris
JAKARTA. Proyek reklamasi teluk Jakarta juga disorot oleh masyarakat Indonesia yang berada di Belanda. Proyek reklamasi Teluk Jakarta ini dinilai sebagai contoh mega-proyek pemerintah di bidang infrastruktur yang mengesampingkan aspek kemanusiaan dan gagal melibatkan partisipasi masyarakat lokal.
Penilaian ini disampaikan oleh Edwin Sutanudjaja, dalam diskusi Angkringan Utrecht bertajuk "Tanah, Air, dan Politik Sumber Daya" yang diselenggarakan Perhimpunan Pelajar Indonesia, Sabtu 30 April 2016 lalu. Edwin memiliki konsentrasi studi di bidang hidrologi dan tengah menjalani post-doktoral di Universitas Utrecht, Belanda.
Edwin mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan proyek reklamasi Teluk Jakarta. Misalnya adalah AMDAL yang asal-asalan, dengan pemodelan sedimentasi banjir
yang hanya terbatas model pasang surutnya, dan tidak memasukkan beban sungai.
Selain itu, studi kelayakan yang dilemparkan kepada konsultan dari luar. "Konsultan dari Korea Selatan dan Belanda diberi kewenangan untuk membuat studi kelayakan dan rancangan detail proyek. Ini kan aneh, belum disebut layak, tapi sudah diberi kewenangan membuat rancangan detail," ujar Edwin, melalui siaran pers Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Utrech, kepada KONTAN, Senin malam (2/5).
Proyek Reklamasi Teluk Jakarta menuai kontroversi sebulan terakhir ini bersama kasus dugaan korupsi yang melibatkan DPRD dan para pengembang kakap, antara lain Agung Podomoro Grup dan Agung Sedayu Grup. Pemerintah dan DPR RI melalukan moratorium atawa penghentian sementara selama enam bulan atas proyek ini. "Namun setelah keputusan moratorium itu, kapal keruk milik Belanda masih tetap bekerja sampai sekarang," lanjut Edwin.
Edwin menekankan bahwa reklamasi Teluk Jakarta dan pembangunan Great Garuda Giant Sea Wall bukan solusi untuk mengatasi problem banjir Jakarta. "Pembangunan di Jakarta sudah tidak terkendali. Banjir dan penurunan muka tanah di Jakarta selama ini justru disebabkan oleh alih guna lahan menjadi mall dan properti," kata Edwin.
Edwin menilai bahwa Jakarta sudah menjadi sasaran ekspansi properti besar-besaran sejak lama. Wilayah seperti Pondok Indah, Kelapa Gading, Sunter yang merupakan daerah resapan telah menjelma menjadi área hunian elit. Kemudian, di era Sutiyoso, ekspansi properti hunian berubah menjadi ekspansi pembangunan mal. Sekarang pembangunan mal tak bisa lagi berdiri, pengembang melakukan ekspansi lahan dengan cara reklamasi.
Secara teknis proyek ini menelan biaya pemeliharaan besar dan berisiko menjadi sebuah septiktank raksasa dengan kondisi 13 sungai di Jakarta yang terpolusi.
Giant Sea Wall nantinya akan membutuhkan sebuah pompa besar, bahkan terbesar di dunia. Edwin menghitung, ongkos pemeliharaan air pada pompa itu akan mencapai Rp 21 triliun per tahun. "Siapa yang akan membayar ongkos ini?" tanya Edwin.
Edwin juga mempertanyakan siapa yang akan memperoleh manfaat terbesar dari proyek reklamasi di pantai Jakarta ini. Dia khawatir proyek ini hanya dinikmati oleh pengembang properti dan menjadi hunian yang hanya mampu dibayar oleh orang-orang kaya. "Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat. Pembangunan bukan hanya tentang menyediakan infrastruktur fisik, tetapi juga harus melibatkan masyarakat lokal," ungkap Edwin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News