Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Realisasi belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga 22 Agustus 2025 tercatat Rp604,33 triliun atau 43,63% dari pagu. Angka ini lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp736,93 triliun atau 52,16%. Artinya, serapan anggaran tahun ini melambat dibanding 2024.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengingatkan pemerintah daerah untuk mempercepat realisasi belanja menjelang akhir tahun anggaran. Ia mencontohkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan serapan tertinggi, yakni mencapai 60%, disusul Gorontalo dan Riau.
“Optimalisasi belanja daerah penting untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus meningkatkan pelayanan publik,” ujar Bima dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, Senin (25/8).
Baca Juga: APBN 2026 Terjebak Siklus Utang, Pertumbuhan Ekonomi 5,4% Berisiko Sulit Tercapai
Ekonom dan Guru Besar Universitas Andalas Syafruddin Karimi menduga, perlambatan belanja APBD disebabkan kebijakan efisiensi nasional dan penyesuaian pendapatan. Sejumlah aturan efisiensi, mulai dari pemotongan perjalanan dinas 50%, pembatasan honorarium, hingga penyisiran kegiatan seremonial yang tertuang dalam SE Mendagri 900/833/SJ, memaksa pemerintah daerah merombak kembali rencana kerja dan anggaran.
"Konsekuensinya, banyak OPD harus mengubah menu program dan menata ulang paket belanja sebelum eksekusi berjalan lancar," ungkap Syafruddin kepada Kontan, Selasa (26/8).
Di saat yang sama, Instruksi Presiden 1/2025 menegaskan disiplin efisiensi pada APBN–APBD sehingga pejabat keuangan daerah memilih memperketat kepatuhan regulasi sebelum mencairkan anggaran.
Percepatan pengadaan melalui Surat Edaran Bersama Mendagri–LKPP tentang Katalog Elektronik versi 6 juga menuntut penyesuaian spesifikasi dan pemasok, yang dalam praktiknya sering memakan waktu pada tahap awal tahun. Di atas itu, SE 000.4.1/640/SJ mendorong perubahan RKPD dan APBD 2025, sehingga proses administrasi dan pengesahan kembali menahan laju realisasi.
"Kombinasi penyesuaian kebijakan, revisi dokumen, dan pengetatan pengadaan itulah yang mengerem eksekusi belanja hingga triwulan III. Kita sedang menyaksikan bagaimana regulasi pusat yang tidak stabil berdampak pada ketidakpastian kinerja daerah," ungkapnya.
Perlambatan belanja APBD diperparah dengan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun pada 2025. Kondisi ini dinilai membuat perekonomian lokal kehilangan dua sumber daya sekaligus, yakni dana dari pusat menyusut sementara mesin belanja daerah berjalan lambat.
Akibatnya, kontraktor menunda rekrutmen tenaga kerja maupun pembelian bahan, proyek infrastruktur kecil–menengah tertunda, dan layanan publik berjalan minim. Efek pengganda fiskal pun melemah, sementara Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) kembali mengendap di kas daerah dan gagal menggerakkan aktivitas riil.
Pemerintah pusat bersama DPR sebelumnya juga menyoroti risiko melambatnya belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi lokal. Bank Dunia bahkan menegaskan kualitas dan ketepatan waktu realisasi belanja menjadi faktor penentu efektivitas layanan publik di tingkat daerah.
"Dalam situasi ini, percepatan eksekusi belanja prioritas—terutama belanja modal dan layanan dasar—menjadi kunci untuk mengembalikan denyut PDRB daerah.,” tegas Syafruddin.
Baca Juga: Bahlil Ungkap Program Listrik Desa Sudah Masuk APBN 2025-2026
Selanjutnya: Indonesia Says US Agrees Tariff Exemption for Its Palm Oil, Cocoa, Rubber
Menarik Dibaca: Promo Sociolla Payday Rewards 25-31 Agustus 2025, Hair Dryer-Serum Diskon hingga 60%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News