Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau kembali terjadi. Titik panas, dan titik api terpantau semakin banyak di wilayah Riau.
Djaimi Backe dari Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau mengatakan Karhutla di Riau masih sering terjadi karena masih kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya dan larangan membakar lahan.
“Kalau kita lihat sekarang yang terbakar itu di lahan masyarakat, skalanya kecil, itu lebih karena kurangnya kesadaran saja. Tapi sudah jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya kan, ” ujar Djaimi Rabu (2/8) kemarin.
Menurut Djaimi ada beberapa cara cara yang efektif menangani Karhutla khususnya di Riau ; Pertama, libatkan masyarakat sebagai Satgas Karhutla.
Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan( KLHK) tahun lalu mulai membuat program percontohan masyarakat peduli api. Salah satu desa binaannya terdapat di Kabupaten Siak.
Mereka mengumpulkan masyarakat yang wilayahnya ditandai sebagai sentra rawan kebakaran. Kemudian masyarakat tersebut dibagi dalam kelompok-kelompok dan diminta untuk membuat perencanaan pemanfaatan lahan gambut untuk ekonomi, di dalamnya juga ada satgas pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
“ Mereka yang buat apa kebutuhannya, mereka juga yang mengeksekusi pelaksanaannya. Ya Alhamdulillah akhirnya tidak ada masyarakat di situ yang bakar lahan, artinya pencegahannya berhasil kok,” kata Djaimi.
Karena dianggap efektif, Djaimi berharap pemerintah baik pusat maupun daerah mampu memperbanyak dan memperluas program ini.
Kedua, penegakan hukum secara tegas. Masyarakat yang membakar hutan kerap menganggap tindakannya dibolehkan UU No. 32 Tahun 2009. Dalam UU tersebut masyarakat boleh membakar lahan sebagai wujud kearifan lokal, maksimal 2 hektar per Kepala Keluarga.
Regulasi tersebut sering disalah artikan oleh masyarakat. “Kita harus tegas-tegas saja, jadi tidak usah tanggung-tanggung, ini boleh ini tidak boleh, setengah-setengah jadinya,” ujar Djaimi.
Djaimi menjelaskan di Riau, dulu memang ada kearifan lokal membuka lahan dengan cara dibakar, yang disebut budaya Merun. “ Itu ada tata caranya sendiri, yang tidak sampai menimbulkan kebakaran luas, hanya areal lahan yang akan dibuka saja yang dibakar,” jelasnya.
Hanya dalam praktiknya masyarakat sekarang tidak mau susah, dan akhirnya membakar lahan sembarangan. “Saya tidak rekomendasikan lagi, pokoknya kalau peraturan kita tidak boleh bakar ya tidak boleh bakar. Teknologi mekanisasi sudah ada, kita tidak perlu lagi membakar,”ujar Djaimi.
Djaimi menambahkan, “ Akses jalan di riau juga sudah jauh lebih baik sekarang, kalau dulu orang mau buka lahan perlu jalan puluhan kilo dan tidak bisa membawa alat berat, akhirnya budaya Merun itu yang dipakai”.
Ketiga, mengembangkan alternatif pendapatan masyarakat di sekitar lahan gambut. Misalnya pemerintah bisa memberikan pelatihan pemanfaatan lahan gambut tanpa harus membakar lahan.
Djaimi mencontohkan misalnya lahan gambut ditanami nanas, bunga rosella atau lidah buaya. Selain itu pemerintah bisa memberikan pelatihan membuat produk dari nanas, seperti dodol atau selai, setelah itu pemerintah juga harus mencarikan pasarnya.
“Kalau orang ekonominya cukup, tidak mungkin mereka mau diupah untuk membakar lahan dengan risiko dihukum,” ujar Djaimi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News