kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Selama Juli, kebakaran hutan meningkat


Senin, 31 Juli 2017 / 18:05 WIB
Selama Juli, kebakaran hutan meningkat


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Wahyu T.Rahmawati

JAKARTA. Mulai saat ini sebagian wilayah Indonesia memasuki musim kemarau. Karena itu, sejumlah titik api sudah mulai terpatau. Berdasarkan data dari sistem monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terungkap ada kenaikan titik api sepanjang bulan Juli 2017 mencapai 293 titik.

Dari pantauan satelit TERRA/AQUA, titik api terbanyak terdapat di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 37 titik dan 47 titik. Sementara itu di Kalimantan terdapat total 89 titik api.

Karhutla ini banyak terjadi di kawasan hutan open access yang tidak dibebani izin pengelola. Karena itu, di sini yang bertangungjawab adalah pemerintah.

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa mengatakan, sesuai peraturan perundang-undangan, pemerintah menjadi penanggung jawab kawasan hutan open access. "Kecuali jika dibebani izin, maka tanggung jawab ada pada pemegang izin," ujar Yanto, Senin (31/7).

Yanto menjelaskan, saat ini pemerintah tidak memiliki infrastruktur, sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan tugasnya tersebut. Akibatnya kebakaran terjadi dengan mudah di bawah pengawasan pemerintah. Ia bilang selama ini, pemerintah butuh dukungan pasukan pemadam kebakaran dan helikopter milik perusahaan swasta untuk memadamkan api.

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Gusti Hardiansyah menambahkan, sekitar 70% titik api berada di kawasan open access. Tapi, kata dia, koordinasi pemerintah belum optimal untuk mengendalikan karhutla di kawasan tersebut.

Dia mencontohkan, program pembuatan sekat kanal dan sumur bor yang dilakukan Badan Restorasi Gambut yang belum bisa optimal karena lambannya dana turun ke lapangan. Situasi ini cukup ironis mengingat serapan Badan Restorasi Gambut (BRG) yang baru sekitar Rp 11 miliar dari anggaran sekitar Rp 860 miliar. "Ini seharusnya dikawal. Koordinasi ditingkatkan sehingga program restorasi gambut bisa berjalan," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×