Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Kedua, penegakan hukum secara tegas. Masyarakat yang membakar hutan kerap menganggap tindakannya dibolehkan UU No. 32 Tahun 2009. Dalam UU tersebut masyarakat boleh membakar lahan sebagai wujud kearifan lokal, maksimal 2 hektar per Kepala Keluarga.
Regulasi tersebut sering disalah artikan oleh masyarakat. “Kita harus tegas-tegas saja, jadi tidak usah tanggung-tanggung, ini boleh ini tidak boleh, setengah-setengah jadinya,” ujar Djaimi.
Djaimi menjelaskan di Riau, dulu memang ada kearifan lokal membuka lahan dengan cara dibakar, yang disebut budaya Merun. “ Itu ada tata caranya sendiri, yang tidak sampai menimbulkan kebakaran luas, hanya areal lahan yang akan dibuka saja yang dibakar,” jelasnya.
Hanya dalam praktiknya masyarakat sekarang tidak mau susah, dan akhirnya membakar lahan sembarangan. “Saya tidak rekomendasikan lagi, pokoknya kalau peraturan kita tidak boleh bakar ya tidak boleh bakar. Teknologi mekanisasi sudah ada, kita tidak perlu lagi membakar,”ujar Djaimi.
Djaimi menambahkan, “ Akses jalan di riau juga sudah jauh lebih baik sekarang, kalau dulu orang mau buka lahan perlu jalan puluhan kilo dan tidak bisa membawa alat berat, akhirnya budaya Merun itu yang dipakai”.
Ketiga, mengembangkan alternatif pendapatan masyarakat di sekitar lahan gambut. Misalnya pemerintah bisa memberikan pelatihan pemanfaatan lahan gambut tanpa harus membakar lahan.
Djaimi mencontohkan misalnya lahan gambut ditanami nanas, bunga rosella atau lidah buaya. Selain itu pemerintah bisa memberikan pelatihan membuat produk dari nanas, seperti dodol atau selai, setelah itu pemerintah juga harus mencarikan pasarnya.
“Kalau orang ekonominya cukup, tidak mungkin mereka mau diupah untuk membakar lahan dengan risiko dihukum,” ujar Djaimi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News