Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Analis Kebijakan Ketenagalistrikan untuk Asia Tenggara EMBER, Achmed Shahram Edianto menjelaskan perkembangan energi terbarukan seperti surya dan angin di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain seperti Vietnam, Thailand dan Filipina. Maka itu Indonesia membutuhkan kebijakan-kebijakan yang tepat untuk mendukung energi bersih di Tanah Air.
Achmed menilai, saat ini Indonesia sedang dalam momentum yang tepat dalam upaya bertransisi ke energi terbarukan. Setelah komitmen dalam penghentian penggunaan batubara yang dilakukan pada COP26 tahun 2022 lalu, kini Indonesia memperkenalkan grand design transisi energi nasional pada saat G20 dan inisiatif Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Tidak cuma itu, Indonesia juga telah mendapat dukungan internasional, seperti ADB Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca Juga: RUU EBET, Antara Peluang atau Jegal Transisi Energi
“Namun demikian, tantangan untuk mengimplementasikan rencana dan komitmen yang sudah ada tetap menjadi salah satu ‘pekerjaan rumah’ besar. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan baru yang merefleksikan bentuk aksi nyata untuk mengimplementasikan rencana dan komitmen yang sudah ada,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (20/2).
Sebagai contoh, pada 2022, pemerintah telah memperkenalkan Perpres No 112 Tahun 2021 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Kebijakan ini bertujuan untuk mengakselerasi penggunaan energi bersih karena mengatur harga jual baru untuk energi terbarukan.
Contoh lain adalah bagaimana pemerintah memberikan perhatian bagi pengembangan PLTS atap, khususnya terhadap rencana perubahan aturan mengenai pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang tertuang dalam Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Achmed menjelaskan, di dalam Permen ESDM PLTS Atap terdapat usulan tidak ada pembatasan kapasitas PLTS atap maksimum 100% daya terpasang melainkan berdasar kuota sistem. Penambahan pasal yang mensyaratkan kuota ini memang dapat dipahami menimbang kondisi kelebihan pasokan listrik yang sedang dialami PLN saat ini, khususnya di sistem Jawab-bali.
Namun saat ini, pengguna PLTS Atap yang berharap adanya mekanisme pembelian listrik dari PLN (net metering scheme) yang dijanjikan oleh Permen ESDM PLS Atap tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan karena kondisi kelebihan pasokan yang terjadi. Maka itu, kelebihan produksi PLTS Atap dari pengguna tidak sepenuhnya dapat diserap oleh PLN.
Kendati demikian, usulan perubahan aturan ini juga cukup mengkhawatirkan karena pertumbuhan PLTS Atap ke depannya akan banyak tergantung oleh keputusan kuota PLN dan tidak lagi didorong oleh permintaan dari pengguna.
Padahal pertumbuhan PLTS atap yang didorong oleh kebutuhan pengguna akan jauh lebih signifikan jika dibandingkan pertumbuhan yang bergantung pada kuota PLN. Hal ini seiring dengan meningkatnya keinginan masyarakat untuk menggunakan PLTS Atap.
Pembangunan PLTS Atap secara masif, juga dapat menjadi solusi Indonesia untuk mencapai target bauran energi terbarukan di 2025 karena proses pembangunannya dapat dilakukan secara masif dan cepat tanpa menunggu proses perizinan dan pembangunan yang dihadapi oleh energi terbarukan skala besar.
Selain sejumlah kebijakan itu, RUU EBET yang awalnya diharapkan menjadi salah satu langkah yang penting bagi Indonesia untuk mengakselerasi perkembangan energi terbarukan di Indonesia.
Baca Juga: Ini yang Jadi Kekhawatiran Pelaku Industri Energi Terbarukan di RUU EBET
Namun, masih terdapat beberapa kekhawatiran dalam RUU EBET ini, seperti masuknya definisi energi baru yang meliputi beberapa bentuk energi baru dari batubara misalnya batubara tercairkan, gasifikasi batu bara, dan lain-lain.
“Sehingga potensi UU ini untuk dapat fokus menjawab beberapa tantangan pada perkembangan energi terbarukan menjadi berkurang, dengan terbukanya beberapa opsi “alternatif” energi baru yang ada dalam UU tersebut,” terangnya.
Padahal saat ini, energi terbarukan membutuhkan kerangka regulasi dan kebijakan yang lebih kuat dan komprehensif untuk mengakselerasi pembangunannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News