kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

LBH desak pemerintah dan DPR batalkan RUU Ormas


Jumat, 21 Juni 2013 / 08:05 WIB
LBH desak pemerintah dan DPR batalkan RUU Ormas
ILUSTRASI. Cara Mengecilkan Perut Secara Efektif dan Aman


Reporter: Adhitya Himawan | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghentikan proses pembahasan dan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas.

LBH menilai, RUU tersebut berpotensi bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar kebebasan berorganisasi dan berserikat.

Menurut Restaria F. Hutabarat, Wakil Direktur LBH Jakarta, alasan pemerintah dan DPR tentang pentingnya RUU Ormas sebagai instrumen pencegah kekerasan serta berupaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas ormas, sudah dijawab oleh berbagai peraturan.

Aturan itu, misalnya, terdapat di dalam KUHP/KUHP Perdata, UU Serikat Buruh/Pekerja, UU Yayasan, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang hingga UU Anti Terorisme dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. "Sehingga, alasan pemerintah dan DPR sudah terbantahkan dan kami nilai mengada-ngada," ujar Resta.

Resta menegaskan, apabila RUU Ormas tetap disahkan oleh DPR, maka LBH Jakarta bersama organisasi masyarakat sipil dan buruh akan melakukan langkah hukum dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, kata dia, banyak substansi yang tertuang di dalam RUU Ormas bertentangan dengan UUD 1945.

Pendapat senada diungkapkan Marulitua Rajagukguk, Pengacara Publik LBH Jakarta. Menurut Maruli, pengaduan yang diterima LBH Jakarta mengenai pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berserikat, cenderung naik dalam tiga tahun terakhir.

Pada tahun 2010, misalnya, jumlah pengaduan sebanyak 8 kasus, tahun 2011 naik menjadi 11 kasus. Di tahun 2012, jumlah pengaduan hanya turun satu kasus dari tahun 2011, yakni 10 kasus.
 
Maruli menambahkan, pola pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berserikat yang dilakukan pemerintah selama periode tersebut, yakni tidak mengakui keberadaan organisasi dan melakukan diskriminasi.

"Hal ini dialami oleh Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Kasbi), yang tidak diberikan izin pendirian dan pembubaran kegiatan. Hal serupa dialami oleh Komunitas Falun Gong," ujar Maruli.

Oleh sebab itulah, Maruli beranggapan jika pemerintah dan DPR tetap memaksakan RUU Ormas disahkan menjadi UU, maka tindakan yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sama saja dengan memperpanjang rantai pelanggaran kebebasan berorganisasi dan berserikat.

Resta mendesak pemerintah dan DPR untuk segera memutus rantai pelanggaran tersebut. Caranya, melakukan beberapa langkah berikut:

Pertama, mencabut UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan karena UU tersebut adalah produk rezim orde baru. Kedua, pemerintah dan DPR segera mengganti dengan RUU Perkumpulan. Ketiga, pemerintah dan aparat penegak hukum segera menindak pelaku pelanggar kebebasan berorganisasi dan berserikat melalui penegakan hukum yang tegas dan tanpa diskriminasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×