kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunan Belum Tentu Bisa Pangkas Harga Minyak Goreng


Kamis, 28 April 2022 / 22:22 WIB
Larangan Ekspor CPO dan Produk Turunan Belum Tentu Bisa Pangkas Harga Minyak Goreng
ILUSTRASI. Para pelaku pasar dan ekonom menilai larangan ekspor juga berdampak pada ekonomi Indonesia. ANTARA FOTO/Makna Zaezar/aww.


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan pelarangan ekspor CPO bersama produk turunannya disangsikan efektif menstabilkan harga minyak goreng. Kebijakan tersebut juga dinilai belum bisa memastikan harga minyak goreng akan segera turun.
 
Meski begitu dampak negatif kebijakan ini bakal langsung terasa di sisi perdagangan nasional. Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan, saat ini pihaknya sedang berkomunikasi dan berkoordinasi dengan asosiasi pelaku usaha sawit baik di sektor hulu maupun hilir, termasuk Bulog, RNI dan BUMN lainnya. 

Hal ini dilakukan untuk menjamin kelancaran implementasi kebijakan pelarangan sementara ekspor crude palm oil, refined, bleached, and deodorized palm oil, refined, bleached, and deodorized palm olein dan used cooking oil dalam Permendag 22/2022 yang berlaku 28 April 2022. 

Baca Juga: Dewan Sawit Prediksi Larangan Ekspor Bahan Baku Minyak Goreng Bisa Dicabut Mei

"(Koordinasi) untuk secara maksimal melaksanakan arahan dari Presiden RI, agar tercapainya ketersediaan minyak goreng sesuai dengan harga yang ditetapkan di masyarakat," kata Tofan, Kamis (28/4).

Secara umum, pelaku usaha kelapa sawit menghormati setiap kebijakan pemerintah terkait industri kelapa sawit. Termasuk kebijakan pelarangan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya termasuk olein (minyak goreng).

GAPKI menilai, memang ada dampak negatif yang tidak terelakkan dari kebijakan yang ditempuh ini dalam jangka panjang.  "Pelarangan total terhadap ekspor CPO dan seluruh turunannya, apabila berkepanjangan akan menimbulkan dampak negatif yang sangat merugikan," ujar Tofan dalam rilis Kamis (28/4). Efek negatif tersebut tidak hanya perusahaan perkebunan, refinery dan pengemasan, namun juga jutaan pekebun sawit kecil dan rakyat. 

Direktur Center of Economics and Law Studies Bhima Yudhistira dalam mengatakan, pengusaha sawit akan kehilangan pendapatan dari ekspor CPO dan mengompensasikan kerugian ke margin harga produk turunan, termasuk minyak goreng. "Apalagi harga CPO di pasar internasional naik 9% seminggu terakhir karena larangan ekspor," jelas dia. 

Pelarangan ekspor tersebut hanya berlaku singkat, sementara harga patokan CPO-nya tetap tinggi. Dengan begitu, minyak goreng kemasan masih menggunakan mekanisme pasar akan semakin mahal. 

Faktor berikutnya, momentum Lebaran juga membuat permintaan sedang tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan warung makanan. Berkaca dari data neraca dagang per Maret 2022, nilai ekspor CPO mencapai US$ 3 miliar setara Rp 43 triliun per bulan. 

Baca Juga: Pantauan KPPU, Harga Minyak Goreng Naik 22,49% Jelang Lebaran 2022

Praktis, apabila pelarangan ekspor dilakukan selama sebulan penuh akan membuat nilai ekspor sebesar itu akan hilang.  Hal ini bakal berimbas ke pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya, 12% dari total ekspor non migas nasional bersumber dari pengapalan CPO. 

"Devisa yang hilang, justru mengalir ke pemain minyak nabati pesaing Indonesia seperti Malaysia misalnya yang menikmati limpahan permintaan, atau pemain soybean oil dan sunflower oil juga dapat rezeki," kata Bhima. 

Belum usai, fenomena yang sama juga bakal berdampak kepada keuangan negara yang kemungkinan turun. Akibatnya pendapatan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melandai. Bhima mengingatkan, hingga Maret 2022 penerimaan negara yang tinggi dikarenakan booming harga komoditas salah satunya CPO.  

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengatasi persoalan minyak goreng bisa  membingungkan publik. Dia menilai,  kebijakan berubah-ubah itu  menunjukkan tim di Istana Kepresidenan tidak bekerja secara optimal.

"Seharusnya Pak Jokowi punya stafsus, kantor staf presiden (KSP), sekretariat kabinet yang memberikan informasi yang akurat. Ini kesalahan tidak hanya Pak Jokowi, tapi bagaimana mekanisme prosedur itu diberikan kepada Presiden," kata Trubus.

Trubus melihat, kepemimpinan seorang presiden harus tegas. Dengan kebijakan berubah-ubah, publik jadi dirugikan. 

Baca Juga: Larangan Ekspor Minyak Goreng hanya Efektif Atasi Gejolak Jangka Pendek

Sebelumnya, pemerintah menjelaskan ke publik terkait produk kelapa sawit yang masih diperbolehkan untuk diekspor yakni minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan Red Palm Oil (RPO). Namun dalam hitungan jam, aturan itu kembali direvisi dimana CPO serta RPO juga termasuk yang dilarang untuk diekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×