Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Nilai mata uang Garuda terus mengalami depresiasi sejak Mei 2013 hingga menembus level 12.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Salah satu strategi yang akan dilakukan Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan rupiah di tahun ini adalah dengan menjaga inflasi inti.
Pengendalian inflasi ini sendiri memang berada di bawah kewenangan BI dengan menggunakan salah satu instrumen bernama BI rate atawa suku bunga.
Kepala Grup Asesmen Ekonomi Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia Doddy zulverdi mengatakan inflasi inti dipengaruhi oleh permintaan investasi impor.
Suku bunga yang tinggi akan pengaruhi konsumsi masyarakat. Karena itu BI pun membuat kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga ke level 7,5%.
Asumsinya, dengan daya beli masyarakat yang ditekan maka inflasi inti yang terjadi bisa terkendali. Pertumbuhan kredit pun menurun.
"Diharapkan nilai tukar bisa terbantu stabil," ujar Doddy, Selasa (4/2). Sayangnya, dirinya tidak mau menjelaskan lebih jauh apakah suku bunga 7,5% saat ini sudah cukup untuk menekan laju inflasi inti.
Doddy menjelaskan hubungan antara inflasi dan nilai tukar berlangsung dua arah. Nilai tukar bisa pengaruhi inflasi dan begitu pula sebaliknya.
Ketika nilai tukar mengalami pelemahan seperti yang terjadi pada rupiah sekarang ini maka harga barang menjadi mahal. Akibatnya terjadi inflasi. Sedangkan ketika inflasi tinggi terjadi maka nilai tukar secara teorinya akan mengalami pelemahan.
Inilah yang kemudian terjadi pada tahun 2013 kemarin ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsdi pada Juni 2013. Inflasi melonjak naik dan rupiah pun terdepresiasi.
Namun dalam konteks permasalahan yang terjadi sekarang ini, rupiah memang dibiarkan bergerak menuju keseimbangan barunya untuk menekan laju current account defisit atawa defisit transaksi berjalan. Penurunan defisit menjadi fokus yang diambil BI saat ini.
Sederhananya, rupiah sengaja dibiarkan melemah untuk menekan laju impor. Ketika defisit sudah stabil dan menuju ke arah yang lebih maka rupiah pun akan terbantu untuk stabil.
Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo pernah menuturkan kalau inflasi inti adalah cerminan fundamental Indonesia. Karena itu pihaknya ingin menjaga inflasi inti di kisaran 4,5% hingga akhir tahun.
BI melihat potensi adanya inflasi inti yang akan cenderung tinggi. Lihat saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi inti di Januari 2014 mencapai 0,56%.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat, yang harus menjadi fokus BI adalah menurunkan defisit transaksi berjalan terlebih dahulu. Defisit yang membengkak inilah yang kemudian menyebabkan pelemahan rupiah.
Kalau ini dibenahi maka rupiah dengan sendirinya akan mengalami penguatan. "Inflasi inti adalah dampak dari defisit transaksi berjalan," tandas David.
Pasalnya, dengan adanya defisit rupiah tertekan. Rupiah tertekan akan menyebakan harga impor naik dan terjadi inflasi.
David memperkirakan, rupiah akan dalam tren menguat yaitu sekitar 12.100 per dolar AS. Penguatan ini disebabkan optimisnya data neraca dagang Indonesia.
Di sisi lain, Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto berpendapat, menjaga inflasi inti adalah tugas otoritas BI. Dengan terjaganya inflasi ini maka akan membantu penguatan rupiah. Dia sependapat dengan BI kalau inflasi inti harus dijaga di level 4,5% hingga akhir tahun.
"Kalau sampai lebih jadi tugas pemerintah untuk menurunkannya," tandas Ryan.
Bukan hanya soal inflasi inti yang perlu dijaga, inflasi administered price pun perlu dijaga. Dan ini merupakan domain pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News