Reporter: Mesti Sinaga | Editor: Mesti Sinaga
Salah satu kritik dan sumber ketidakpuasan atas kinerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo- Jusuf Kalla selama satu tahun pemerintahnnya adalah kebijakan pemangkasan suibsidi BBM.
Kebijakan ini telah membuat harga BBM subsidi meningkat, dan memukul daya beli masyarakat.
Namun, di hari ulang tahun pemerintahannya, hari ini (20/10/2015) Jokowi menjelaskan alasannya memangkas subsidi BBM tersebut.
Dalam Paparan 1 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Yusuf Kalla yang dikirimkan ke KONTAN, Presiden menjelaskan bahwa subsidi BBM selama ini salah sasaran.
"Di sini ada ketidakadilan. Ada ketimpangan sosial yang harus diselesaikan," demikian kutipan dalam Paparan tersebut.
Paparan tersebut menyebutkan, di tahun 2013, 20% orang terkaya menikmati 51% subsidi BBM. Sedangkan 20% orang termiskin hanya menikmati 7% subsidi BBM.
Akibatnya, ruang fiskal kita terbatas dan tak bisa melakukan pembangunan infrastruktur, desa, tidak bisa meningkatkan kualitas pendidikan & kesehatan, tidak bisa mengentaskan kemiskinan dan tidak bisa melakukan program-program produktif lainnya
Untuk itu, Jokowi-JK memangkas subsidi BBM. Mereka mengklaim, dana subsidi BBM tersebut kemudian dialokasikan untuk program produktif bagi rakyat.
“Lebih dari 200 triliun rupiah subsidi BBM yang selama ini dibakar di jalan-jalan, dialihkan untuk program yang memakmurkan rakyat,” demikian kutipan dari Paparan tersebut.
Dana subsidi BBM tersebut dialokasikan untuk: membangun waduk baru & irigasi, tol laut & jaringan kereta api di luar Jawa, membagikan Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera.
Kritik atas kebijakan BBM Jokowi
Namun, langkah pencabutan subsidi BBM oleh Jokowi- JK tersebut menuai kritik. Seorang pengamat ekonomi menilai Jokowi tidak konsisten menjalankan kebijakannya.
"Setelah mencabut subsidi BBM, Jokowi tidak konsisten membiarkan harga BBM bergerak lebih bebas sehingga menciptakan "harga semu" yang bisa menimbulkan kekeliruan alokasi sumber-sumber ekonomi dalam berusaha," ujar pengamat tersebut, "Gampangnya, banyak itungan bisnis jadi nggak tepat karena berdasarkan harga BBM yang nggak riil."
Ketika harga minyak dunia murah, papar sumber ini, harga tidak turun dan ketika harga agak mahal, Pertamina yang harus menanggung rugi.
"Ini bukan kebijakan yang pas untuk mendorong produktifitas dan daya saing. Ini malah kebijakan yang meninabobokan dan mendistorsi mekanisme pasar dan investasi," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News