Reporter: Yohan Rubiyantoro |
JAKARTA. Komisi Pemilihan Umum memperkirakan, dana logistik untuk pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2009 hanya akan terpakai separuh. Hal ini disebabkan karena biaya pengadaan yang jauh lebih kecil dibanding pemilu legislatif. "Dari DIPA untuk surat suara pilpres sebesar Rp 121 Miliar, mungkin hanya terpakai separuh. Maksimal hanya Rp 70 Miliar," kata Wakil Kepala Biro Logistik KPU, Boradi kepada Kontan, Minggu (24/5).
Boradi menguraikan, penghematan anggaran berasal dari pengadaan surat suara dan tinta. Namun, surat suara memberikan kontribusi penghematan terbesar. Maklumlah, pada pileg KPU harus mengadakan 4 jenis surat suara untuk caleg DPR, DPRD Kabupaten, DPRD Kota dan DPD. Sementara untuk pilpres KPU hanya mencetak satu jenis surat suara. "Dari segi ukurannya pun jauh berbeda. Penghematannya akan sangat besar," ucapnya.
Boradi juga menyatakan, berdasar evaluasi pileg, ternyata KPU berhasil menghemat Rp 1 Triliun dari pengadaan barang dan jasa. Ia mengatakan, hal tersebut dikarenakan banyak pengusaha yang berminat mengikuti lelang barang dan jasa pemilu. Sehingga mereka saling bersaing memberikan harga penawaran yang rendah. "Harga yang kami dapat sekitar 80 % dari HPS," ujarnya.
Boradi mengatakan, dari DIPA untuk pileg sebesar Rp 1,5 Triliun, KPU hanya menggunakan Rp 500 Miliar. KPU akan menggunakan sisa dana ini sebagai cadangan anggaran pilpres. "Seandainya pilpres sampai putaran kedua, dana ini bisa dipakai, dan jumlahnya sudah cukup," katanya.
Meskipun pileg menyisakan dana hingga Rp 1 Triliun, namun dalam rapat dengar antara KPU dan DPR tentang evaluasi pileg, KPU justru mengajukan tambahan anggaran. Namun Boradi enggan mengomentari hal tersebut. "Saya tidak tahu, itu anggota yang mengajukan. Yang jelas, kalau untuk logistik, sampai pilpres putaran kedua, dananya sudah cukup," urainya. Namun Boradi melanjutkan, mungkin KPU mengajukan penambahan anggaran untuk biaya operasional pilpres. "Mungkin tambahan untuk petugas PPS atau PPK," ucapnya.
Sementara, kalangan LSM menilai penghematan yang diklaim KPU justru sebuah manipulasi. Pasalnya, KPU memang menetapkan HPS yang terlampau tinggi, sementara para peserta lelang mengajukan harga penawaran sesuai harga pasar. "Itu bukan penghematan," ucap Arif Nur Alam, Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center.
Arif mengatakan, jika KPU menetapkan HPS sesuai harga pasar, lantas memperoleh harga penawaran dibawah harga pasar, maka barulah itu disebut sebagai penghematan. Arif justru menyatakan bahwa KPU tidak profesional dalam melakukan lelang barang dan jasa. Hal ini terbukti dari banyaknya pemenang lelang yang melakukan penyimpangan, seperti pencetakan surat suara yang rusak, tertukar dan telat didistribusikan. "Kami sudah laporkan, kami sudah 2x menemui KPK. Dan KPK sudah mulai melakukan investigasi," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News