Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri kehutanan menghadapi tantangan serius dan kontribusinya terhadap perekonomian semakin menurun.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menegaskan bahwa kontribusi industri kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) turun drastis dari 0,7% menjadi hanya 0,36%. Di sisi lain kontribusi investasi domestik di sektor kehutanan hanya sekitar 1%, sementara asing hanya 0,02%.
"Ini menunjukkan rendahnya minat investasi. Padahal kalau dikelola optimal, sektor kayu bisa jadi pengungkit ekonomi,” katanya dalam keterangan resminya, Senin (15/9).
Baca Juga: Penyaluran Kredit Rp 200 T Perlu Difokuskan ke Sektor dengan Daya Ungkit Tinggi
Huda mencatat, meskipun produksi kayu tumbuh, industri pengolahan seperti gergajian dan kayu lapis justru menurun. Kinerja ekspor pun melemah dalam empat tahun terakhir, meski sempat naik pada dekade sebelumnya.
Di sisi lain, Pengamat Kehutanan Petrus Gunarso menilai kampanye internasional kerap membingkai kayu asal Indonesia secara berlebihan.
Ia mencontohkan pemberitaan The New York Times yang menyoroti pasokan kayu Indonesia untuk industri RV di Amerika Serikat.
“Yang diekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa (IPK) dari land clearing HTI. Itu legal, tapi dibingkai seolah-olah pembalakan liar besar-besaran,” ujar Petrus.
Menurutnya, perbedaan definisi deforestasi antara lembaga internasional dan kondisi riil di lapangan juga menjadi masalah.
Dia mengatakan bahwa hutan alam yang menjadi hutan tanaman kerap disebut sebagai deforestasi. Padahal secara produksi, hutan tanaman justru bisa lebih cepat tumbuh.
"Misalnya eukaliptus yang dalam enam tahun sudah bisa dipanen,” katanya.
Sementara itu, Pakar kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Sudomo menyoroti aspek regulasi yang dinilai menambah biaya tanpa manfaat signifikan.
Ia mencontohkan penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang tidak dirasakan manfaatnya oleh petani maupun pengusaha kecil.
“Rata-rata petani hanya mengurus SVLK kalau ada yang membantu, bahkan banyak yang tidak tahu di mana sertifikatnya,” jelas Sudarsono.
Menurutnya, pengusahaan hutan alam bukan penyebab utama deforestasi. Lebih dari itu, alih fungsi lahan untuk perkebunan atau kegiatan non-kehutanan jauh lebih dominan.
“Hutan alam itu renewable secara biologis, tapi belum tentu secara finansial. Masalahnya ada pada insentif ekonomi dan investasi yang sangat kecil dibanding sektor perkebunan atau perikanan,” tambahnya.
Kemudian, pihaknya juga menunjukkan data yang menyebutkan sejak 1990 hingga 2023, jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus menurun dari sebelumnya 600 unit usaha di hutan alam dan tersisa 250 perusahaan aktif.
Sudarsono menyebut tanpa reformasi regulasi dan dukungan investasi, sektor kehutanan akan terus terpuruk.
Dampaknya, industri kayu yang dulunya menjadi salah satu penopang ekonomi kini kehilangan daya tarik dan tidak lagi mampu bersaing dengan sektor perkebunan atau perikanan.
“Jika hutan bisa memberi kesejahteraan, maka hutan itu akan dilestarikan. Yang kita butuhkan adalah aturan yang tepat guna, bukan aturan yang justru mematikan industri,” pungkas Sudarsono.
Baca Juga: Purbaya: 20 Tahun Terakhir Mesin Ekonomi Indonesia Masih Pincang
Selanjutnya: Kenaikan Volume dan Harga Jual Mendongkrak Kinerja Arwana Citramulia (ARNA)
Menarik Dibaca: Turunkan Berat Badan Tanpa Diet Ekstrem, Ini Tips Sehatnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News