Reporter: Hans Henricus |
JAKARTA. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) belum sepenuhnya wajar tanpa pengecualian alias disclaimer. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengakui ada tiga persoalan yang menjadi penyebab.
Pertama, tata kelola aset negara yang hingga kini belum rampung. Kedua, BPK tidak boleh memeriksa laporan penerimaan pajak. Ketiga, tata kelola utang Pemerintah ada sebagian yang belum bisa dipertanggungjawabkan.
"Inilah yang menyebabkan LKPP masih disclaimer," ujar Ketua BPK Hadi Purnomo di kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (3/11).
Berkaitan dengan audit penerimaan pajak, menurut Hadi, BPK hanya bisa melakukan audit wajib pajak bukan mengaudit penerimaan pajak. "Ini yang juga merupakan kendala dalam LKPP," imbuh Hadi.
Hadi menjelaskan, audit wajib pajak itupun hanya dilakukan terhadap terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan BUMN yang go public. Menurut mantan Direktur Jenderal Pajak itu, perusahaan pelat merah itu menguasai hampir 30% dari penerimaan pajak.
Sedangkan, BPK tidak melakukan audit wajib pajak pribadi dan perusahaan. "Sebab, wajib pajak pribadi dan perusahaan bukan auditee kita ," tutur Hadi.
Sebelumnya pada Juni 2009 lalu, untuk kelima kalinya secara berturut-turut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak memberikan opini alias disclaimer atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2008. BPK menilai perbaikan sistem keuangan negara belum terjadi secara menyeluruh pada semua Departemen atau Lembaga Negara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News