Reporter: Siti Masitoh | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 menuai beragam reaksi di masyarakat, khususnya di jagat maya.
Banyak pihak khawatir kebijakan ini akan berdampak pada daya beli masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.
Baca Juga: Rakyat Makin Susah! YLKI Tolak Kenaikan Tarif PPN 12% di 2025
Pemerintah: Kenaikan PPN Tidak Berdampak Luas
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Hastuti menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan memengaruhi masyarakat luas.
Menurutnya, barang dan jasa yang menjadi kebutuhan utama masyarakat, seperti bahan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, transportasi umum, serta jasa sosial, dibebaskan dari PPN.
“Kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini,” ujar Dwi pada Kamis (21/11).
Ia juga menjelaskan bahwa pendapatan dari PPN akan dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk program-program bantuan, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi listrik, LPG 3 kg, hingga subsidi pupuk.
Baca Juga: Ribuan Orang Teken Petisi Penolakan Kenaikan Tarif PPN Jadi 12%
Analisis: Dampak Kenaikan PPN bagi Daya Beli Masyarakat
Namun, Wakil Kepala LPEM FEB UI Bidang Penelitian, Jahen F. Rezki memiliki pandangan berbeda. Berdasarkan analisisnya, kenaikan tarif PPN justru akan membebani masyarakat miskin lebih berat dibandingkan kelompok kaya.
Ia mencatat bahwa kenaikan tarif PPN dari 10% ke 11% pada 2022-2023 menambah beban pengeluaran rumah tangga miskin sebesar 0,71%, sementara kelompok rumah tangga kaya hanya 0,55%.
Kenaikan menjadi 12% diprediksi berdampak lebih besar, hingga 4,79% dari total pengeluaran rumah tangga miskin.
“Penurunan daya beli kelas menengah ke bawah berpotensi meningkatkan angka kemiskinan,” ujar Jahen.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Tunda Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12% Hingga 2028
Kekhawatiran Terhadap Pertumbuhan Konsumsi dan Ekonomi
Kenaikan tarif PPN ini juga memicu ajakan di media sosial untuk memboikot pembelian barang-barang yang dikenai PPN, seperti smartphone dan kendaraan pribadi.
Hal ini menjadi perhatian karena konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Direktur Big Data INDEF Eko Listiyanto menyoroti tren pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi selama empat kuartal terakhir.
Misalnya, pada kuartal III 2024, ekonomi tumbuh 4,95%, tetapi konsumsi hanya naik 4,91%.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah stimulus untuk mendorong konsumsi, bukan tambahan beban seperti kenaikan tarif PPN,” ujar Eko dalam diskusi publik INDEF.
Baca Juga: Sederet Kebijakan Pajak Ini Dinilai Bebani Masyarakat, Ada PPN 12% Hingga TER
Eko mengakui bahwa memberikan stimulus membutuhkan anggaran besar. Namun, jika sulit mencari dana tambahan, ia menyarankan agar pemerintah tidak menambah beban masyarakat.
“Pilihan ada pada pemerintah, apakah fokus memberikan stimulus untuk konsumsi atau mengejar target anggaran jangka pendek,” tambahnya.
Kebijakan ini menjadi dilema besar bagi pemerintah. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk meningkatkan penerimaan negara melalui PPN.
Namun, di sisi lain, ada risiko penurunan daya beli yang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Selanjutnya: Bertemu Wakil PM Inggris, Prabowo Bahas Program Gizi untuk Anak-anak
Menarik Dibaca: Promo JSM Indomaret Periode 22-24 November 2024, Indomie Kuah Beli 5 Lebih Murah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News