Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga Selasa (8/12), pemerintah belum juga mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok. Untuk itu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) berharap agar pemerintah memberikan relaksasi cukai rokok.
Ketua umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan mengatakan, saat ini industri hasil tembakau (IHT) sedang menghadapi ketidakpastian kebijakan cukai 2021. Bila merujuk pengalaman sebelumnya, seharusnya pemerintah mengumumkan kebijakan kenaikan cukai antara bulan Oktober-November.
“Kami mendengar melalui media pada Oktober lalu, Kementerian Keuangan berencana menaikkan cukai 2021 yang cukup tinggi. Tetapi hingga akhir tahun ini belum ada kejelasan,” kata dia, Senin (7/12).
Henry bilang, di tengah ketidakpastian mengenai rencana kebijakan cukai 2021, pihaknya khawatir kenaikan cukai bisa memberatkan dan berdampak terhadap sektor pertembakauan nasional ke depan.
Baca Juga: Gaprindo minta kenaikan tarif cukai rokok tahun depan di bawah 5%, kenapa?
Oleh karena itu, GAPPRI berharap tidak ada kenaikan tarif cukai 2021 di tengah pandemi Covid-19 dan pelemahan kinerja IHT. Meski keberatan dengan rencana kenaikan, namun GAPPRI tetap menaati kebijakan tersebut dengan segala konsekuensinya.
“Untuk recovery IHT, perkumpulan GAPPRI berharapnya tidak ada kenaikan. Tetapi jika memang naik dan dan diumumkan akhir tahun yakni Desember ini, kami berharap pemerintah memberikan relaksasi cukai agar dampak terhadap cashflow perusahaan tidak terlalu parah,” jelas Henry.
Adapun GAPPRI meminta adanya fasilitas perpanjangan (mundur) dua bulan untuk batas waktu pemesan pita cukai, batas waktu pelekatan pita cukai, batas waktu penarikan rokok berpita cukai 2020.
"Mundurnya batas waktu tersebut sesuai dengan mundurnya waktu pengumuman kebijakan, yakni dua bulan," terang dia.
Selain itu, GAPPRI juga berharap ada relaksasi penundaan pembayaran pita cukai dari enam puluh hari menjadi sembilan hari di awal tahun 2021.
Menurut Henry, permohonan relaksasi fasilitas ini didasari tren pasar di awal tahun yang biasanya pada posisi terendah disebabkan musim hujan, bencana, petani tidak ada panen, tahun ajaran baru sehingga rumah tangga memprioritaskan belanja pendidikan, serta bulan puasa yang biasanya berdampak pada penjualan rokok turun 30%-40%.
"Sementara, bersamaan dengan hal tersebut, perusahaan harus membayar Tunjangan Hari Raya (THR) jelang Idul Fitri 2021," tukas Henry.
Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, produksi hasil tembakau terus mengalami tren perlambatan selepas bulan Maret dan pertumbuhannya berada di teritori negatif. Bahkan hingga Oktober lalu belum ada tanda-tanda perbaikan dari produksi hasil tembakau.
Baca Juga: APTI: Tepat, bila cukai SKT tidak naik demi lindungi tenaga kerja
Produksi hasil tembakau, pada April hingga Oktober 2020 berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif secara tahunan. Pada bulan April minus 2%, Mei minus 12,4%, Juni minus 8,1%, Juli minus 8,9%, Agustus minus 10,1%, September minus 9,6%, dan Oktober minus 10,7%.
Sementara itu, dengan tarif kenaikan rata-rata cukai hasil tembakau (CHT) 2020 sebesar 23%, realisasi penerimaan cukai rokok sepanjang Januari-Oktober 2020 sebesar Rp 130,53 triliun, tumbuh 11,71% year on year (yoy).
Realisasi ini setara 79,13% dari outlook penerimaan cukai rokok sepanjang 2020 yang sebesar Rp 164,94 triliun.
Selanjutnya: Penjelasan Bea Cukai belum umumkan kenaikan cukai rokok tahun depan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News