Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan mengevaluasi peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD). Sebab, Kemkeu menemukan masih banyak Perda terkait PDRD yang tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat dan dinilai menganggu kepentingan umum.
Sebenarnya, Undang-Undang (UU) Nomor 28/2009 sudah mengatur pembuatan Perda PDRB. Namun, pasca lahirnya UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), pemda jarang menyampaikan perda yang dibuatnya ke pemerintah pusat. Walhasil, banyak perda yang dinilai berlawanan dengan UU tersebut.
Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemkeu Boediarso Teguh Widodo menyebut, pada tahun 2016, sebanyak 3.391 perda direvisi atau dibatalkan. Dari jumlah itu, Perda tentang PDRD mencapai 1.559 perda, terdiri dari 43 perda PDRD provinsi yang direvisi atau dibatalkan menteri dalam negeri dan 1.516 perda sisanya merupakan perda PDRD kabupaten atau kota yang revisi atau dibatalkan oleh gubernur.
Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) berkoordinasi dengan Kemkeu dalam evaluasi Perda PDRD provinsi. Hasilnya, sebagian perda perlu direvisi karena perluasan objek PDRB oleh Pemda bertentangan UU 28/2009.
"Seperti pengenaan retribusi parkir terhadap pelayanan valet, dan pajak restoran terhadap toko roti. Padahal keduanya merupakan objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atau menjadi pajak pusat," ujar Boediarso mencontohkan, Rabu (10/5).
Pada tahun ini Kemkeu merekomendasikan dua perda untuk direvisi. Pertama, Perda Kabupaten Bogor Nomor 29/2011 tentang Retribusi Jasa Usaha. Perda ini terkait pengenaan retribusi atas pemanfaatan ruang milik jalan dan retribusi terhadap masyarakat yang menggunakan trotoar untuk akses jalan ke rumah.
Kedua, Perda Kota Banjarbaru Nomor 3/2011 tentang Pajak Restoran, yang mengenakan pajak restoran kepada Breadtalk, yang merupakan objek PPN. "Jika tidak direvisi, akan ditindaklanjuti dengan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA)," tambah Boediarso.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyebutkan dari 1.000 perda yang dikaji, terdapat 262 perda bermasalah. Umumnya perda tersebut merugikan pengusaha. "Di Cilegon, ada perusahaan yang harus membayar pajak penerangan jalan hingga Rp 72 miliar per tahun karena mereka memiliki pembangkit listrik. Padahal listrik menjadi infrastruktur yang difasilitasi pemerintah," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News