kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Kemhut: 30% produk kayu belum bersertifikat legal


Selasa, 24 Februari 2015 / 19:32 WIB
Kemhut: 30% produk kayu belum bersertifikat legal
ILUSTRASI. Cek Harga HP OPPO A17 Baru Bulan September 2023, Didukung RAM 4GB+4GB dan Kamera 50MP


Reporter: Mona Tobing | Editor: Uji Agung Santosa

JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) membantah jika 30% konsumsi kayu nasional saat ini tidak tercatat pada sistem Kementerian LHK. Kementerian LHK memastikan selisih angka ekspor terjadi bukan bersumber dari illegal logging, melainkan adanya produk yang belum memiliki sertifikat legalitas.

Sekjen Kementerian LHK, Hadi Daryanto menjelaskan, pihaknya sudah melakukan telaah supply-demand bahan baku untuk industri kehutanan di tanah air, termasuk kayu lapis, furnitur, kayu pertukangan, serta bubur kayu dan kertas.

“Terbukti tidak ada gap antara pasokan dan kebutuhan bahan baku kayu seperti yang dituduhkan,” katanya hari ini (24/2).

Hadi menjelaskan, perbedaan catatan nilai ekspor memang terlihat jika membandingkan catatan Kementerian LHK (Sistem Informasi Legalitas Kayu/SILK) dan Kemendag (Indonesian National Single Window/INSW). Berdasarkan SILK, nilai ekspor produk kayu Indonesia pada tahun 2014 lalu sebesar US$ 6,6 miliar. Sementara berdasarkan INSW sebesar US$ 9,8 miliar.

Perbedaan terjadi karena SILK hanya mencatat produk berbasis kayu yang sudah diwajibkan untuk menggunakan dokumen v-legal yakni proses ekspor yang diatur dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Produk tersebut adalah plywood, woodworking, dan bubur kayu.

Sementara produk furnitur dan sebagian produk kertas belum dikenai kewajiban SVLK, meski sudah ada yang memanfatkan dokumen v-legal dalam proses ekspornya. Jadi yang dicatat di SILK hanya yang sudah diwajibkan saja. Sebagian produk kertas berorientasi ekspor yang berbahan baku kayu limbah, juga belum diwajibkan. Inilah yang memunculkan perbedaan angka ekspor.

“Tidak semua bahan baku untuk kertas berasal dari hutan. Kalau ada laporan yang menyatakan terjadi gap bahan baku pada industri pulp dan kertas, maka perlu dilakukan analisa lebih lanjut dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan bahan baku,” tandas Hadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×