Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan kajian perintis mengenai sumber makanan asam lemak trans dalam pasokan pangan Indonesia. Peluncuran ini bertujuan mendukung penerbitan peraturan pemerintah untuk mengeliminasi lemak trans.
Lemak trans atau asam lemak trans adalah asam lemak tak jenuh yang berasal dari sumber alami atau industri. Konsumsi lemak trans secara signifikan dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan berkontribusi terhadap sekitar 500.000 kematian akibat penyakit jantung koroner secara global setiap tahunnya.
Studi dasar ini melibatkan pengujian laboratorium terhadap 130 produk di empat kategori makanan: minyak dan lemak, margarin dan olesan, makanan kemasan yang terbuat dari lemak (seperti biskuit, kue kering, wafer, kue, dan roti), serta makanan siap saji seperti mi goreng, nasi goreng, ayam goreng, kentang goreng, dan roti.
Baca Juga: Vaksin AstraZeneca Picu Pembekuan Darah? Begini Penjelasan BPOM dan Kemenkes
WHO merekomendasikan kadar lemak trans dalam pangan kurang dari 2 gram per 100 gram total lemak. Namun, hampir 10% produk yang disurvei atau sekitar 11 makanan mengandung kadar lemak trans melebihi rekomendasi tersebut.
Kadar lemak trans yang tinggi juga terdapat pada produk makanan ringan yang populer dan banyak dikonsumsi, seperti biskuit, wafer, produk roti, dan jajanan kaki lima seperti martabak. Konsentrasi lemak trans tertinggi terdapat pada campuran margarin dan mentega, yaitu 10 kali lebih tinggi dari batas yang direkomendasikan WHO.
“Di Indonesia harus diakui masih kekurangan data terkait lemak trans pada pangan. Kemenkes sangat mengapresiasi upaya dari WHO Indonesia untuk melakukan kajian kandungan lemak trans pada makanan,” kata Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, Senin (6/5).
Wamenkes Dante menyebutkan, cara paling efektif untuk mengurangi lemak trans dalam pasokan pangan adalah melalui regulasi. WHO pun mendorong negara-negara untuk mengadopsi satu dari dua kebijakan praktik terbaik eliminasi lemak trans.
Langkah pertama adalah membatasi kadar lemak trans hingga 2% dari total kandungan lemak di semua makanan. Langkah kedua, pelarangan minyak terhidrogenasi sebagian (Partially Hydrogenated Oil/PHO), termasuk pelarangan produksi, impor, penjualan, dan penggunaan PHO pada semua makanan.
Untuk mendukung kebijakan ini, pada 2018 WHO meluncurkan inisiatif eliminasi lemak trans global, REPLACE, yang menyerukan negara-negara untuk mengeliminasi lemak trans secara global pada tahun 2023.
Kerangka kerja REPLACE terdiri dari 6 strategi: pertama, meninjau sumber makanan lemak trans dan lanskap kebijakan; kedua, mendorong penggantian lemak trans dengan lemak dan minyak yang lebih sehat; ketiga, memberlakukan peraturan untuk mengeliminasi lemak trans; keempat, menilai dan memantau kandungan lemak trans dalam pasokan pangan; kelima, menciptakan kesadaran di kalangan pengambil kebijakan, produsen pangan, dan masyarakat; dan keenam, memastikan kepatuhan terhadap kebijakan.
Saat ini, sebanyak 53 Negara Anggota WHO telah mengadopsi kebijakan praktik terbaik eliminasi lemak trans, termasuk Denmark yang menjadi negara pertama yang menerapkan kebijakan tersebut sejak 2003.
“Denmark adalah negara pertama yang melarang lemak trans dalam industri makanan dan ini sudah dilakukan sejak tahun 2003. Kenapa bisa dilakukan, karena sebelum adanya larangan ini, angka kematian akibat penyakit jantung itu sangat tinggi,” kata Wamenkes.
Sepuluh tahun setelah regulasi diberlakukan, tanpa intervensi spesifik lainnya, angka kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah turun 20 persen.
Wamenkes Dante menegaskan, Pemerintah Indonesia juga berkomitmen penuh untuk menerapkan regulasi pelarangan penggunaan lemak trans pada industri makanan di Indonesia.
Baca Juga: Kemenkes Hasilkan 12 Rekomendasi Kebijakan Terkait Telekesehatan di Indonesia
Wamenkes pun menilai pembatasan lemak trans akan menekan penyakit jantung sekaligus membuat Indonesia berhemat triliunan rupiah. Ia berharap penyusunan regulasi dengan melibatkan lintas sektor dapat menjadikan Indonesia negara berikutnya yang menerapkan regulasi sesuai praktik baik yang disarankan WHO.
“Kami akan merumuskan regulasi tersebut di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat akan lebih sehat sehingga angka kematian akibat penyakit jantung dan kardiovaskular turun,” ujar Wamenkes.
Wamenkes menjelaskan, penerapan regulasi lemak trans akan dibarengi dengan edukasi secara masif terutama pada sektor informal seperti pedagang kecil dan menengah.
“Kini, 53 Negara Anggota WHO secara global telah mengadopsi kebijakan praktik terbaik terkait lemak trans, dan WHO bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk memastikan Indonesia menjadi negara berikutnya,” kata Perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr. N. Paranietharan.
“Rilis studi dasar WHO hari ini menandai langkah maju yang penting dalam memperbaiki lingkungan pangan bagi lebih dari 275 juta masyarakat Indonesia, memungkinkan mereka untuk hidup lebih lama dan lebih sehat,” lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News