Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia (UI) melaporkan bahwa pengendalian rokok dalam kurun waktu 10 tahun terakhir alias di era presiden Joko Widodo (Jokowi) belum optimal.
Peneliti PKJS UI, Aryana Satrya mengungkapkan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh pihaknya, memang di era Jokowi kebijakan mengenai pengendalian rokok di Tanah Air begitu masif. Namun, masih sedikit yang melakukan evaluasi secara komprehensif.
“Memang kebijakan pengendalian rokok di Indonesia dalam 10 tahun terakhir masih belum optimal,” ujarnya dalam webinar Dinamika Kebijakan Pengendalian Rokok di Indonesia: Evaluasi Era Presiden Jokowi 2014-2024, Selasa (27/8).
Aryana menyebutkan, belum optimalnya kebijakan pengendalian rokok tersebut terlihat dari program pemantauan, Peraturan Daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR), upaya berhenti merokok, gambar peringatan bahaya merokok.
Baca Juga: Cukai Rokok Tidak Naik, Giliran Cukai Minuman Berpemanis Dibidik
Selain itu, masih maraknya iklan-iklan sponsor rokok, serta masih terjangkaunya harga jual rokok meski berulang kali pemerintah telah menaikkan cukai rokok.
“Pemerintah telah mengesahkan regulasi setiap tahun antara 2014-2024 dengan kenaikan cukai rokok sebagai kebijakan paling efektif di antara kebijakan lainnya,” sebut Aryana.
Aryana menuturkan, tantangan pemerintah pusat saat ini adalah perlunya bantuan dan kerja sama dengan pemerintah daerah dalam pengendalian rokok. Hal ini bisa dilakukan baik melalui kenaikan cukai maupun penegakkan hukum Perda KTR.
Menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan menjadi katalis penting untuk pengendalian rokok, serta perlu dikawal implementasi dan pengawasannya.
“Diperlukan kerja sama antara kementerian lembaga dan political will yang kuat mulai dari presiden, K/L dan pemerintah daerah,” terangnya.
Lebih lanjut, Aryana menambahkan, tantangan terbesar dari pengendalian rokok ini yakni adanya campur tangan industri melalui lobi politik dan bantuan swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) kepada daerah.
Dia bilang, berdasarkan laporan Global Tobacco Interference, skor Transparency International Indonesia (TII) indeks Indonesia mencapai 84, yang berarti sangat tinggi.
“Sehingga diharapkan skor TII index Indonesia menurun di pemerintahan berikutnya,” tandasnya.
Baca Juga: Tarif Cukai Rokok 2025 Batal Naik? Ini Penjelasan Kemenkeu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News