kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.555.000   9.000   0,58%
  • USD/IDR 16.190   15,00   0,09%
  • IDX 7.089   24,28   0,34%
  • KOMPAS100 1.050   2,99   0,29%
  • LQ45 820   -0,96   -0,12%
  • ISSI 212   2,00   0,95%
  • IDX30 421   -0,80   -0,19%
  • IDXHIDIV20 504   -0,45   -0,09%
  • IDX80 120   0,40   0,33%
  • IDXV30 124   0,56   0,46%
  • IDXQ30 139   -0,48   -0,34%

Kebijakan Multitarif PPN Picu Masalah Kompleksitas


Jumat, 06 Desember 2024 / 18:56 WIB
Kebijakan Multitarif PPN Picu Masalah Kompleksitas
ILUSTRASI. Penumpang keluar dari stasiun LRT Dukuh Atas di Jakarta, Selasa (03/12/2024). KONTAN/Cheppy A. Muchlis/03/12/2024. Kebijakan tarif PPN 12% akan diberlakukan untuk barang mewah saja mulai Januari 2025, kebijakan tersebut dinilai akan memicu masalah kompleks.


Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% akan diberlakukan untuk barang mewah saja mulai Januari 2025. Meski begitu, kebijakan tersebut dinilai akan memicu masalah kompleksitas. 

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan  kebijakan multitarif PPN akan memunculkan masalah berupa kompleksitas. Hal itu karena satu kelompok barang dapat dikenakan PPN berbeda. 

"Pembedaan tersebut mengacu pada konsumen dari barang tersebut," ujar Prianto kepada Kontan, Jumat (6/12).

Prianto melihat dari sisi kompromi kebijakan, langkah pemerintah sudah tepat karena mendengarkan aspirasi rakyat. Namun dari sisi kerumitan implementasi, langkah tersebut dinilai masih kurang tepat.

"Karena sistem aplikasi Coretax harus dimodifikasi, selain itu, diperlukan identifikasi dan pembedaan barang-barang yang dikenai tarif PPN 12% dan 11%," jelasnya. 

Baca Juga: Serikat Pekerja XL Axiata Lakukan Aksi Cuti Massal Tuntut Transparansi Merger

Selain itu menurut Prianto rencana PPN 2% hanya untuk barang mewah harus ditindaklanjuti dengan formulasi norma hukum pajak. Jadi, tarif PPN 12% tersebut sudah tertuang di Pasal 7 ayat (1) huruf b UU PPN (hasil revisi UU HPP). Tarif tersebut bersifat tunggal dan berlaku untuk semua transaksi barang sepanjang tidak ada masuk ke non-objek pajak sesuai Pasal 4A ayat (2) UU PPN. 

Sehingga, jika ada perubahan kebijakan PPN dari tarif tunggal ke multitarif, harus ada amandemen di Pasal 7 UU PPN. Selanjutnya, pemerintah harus menyiapkan turunan berupa Peraturan Pemerintah untuk merinci transaksi barang apa saja yang terkena tarif 11% dan 12%. Aturan turunan yang ada sekarang mengacu ke PP 44/2022.  

"Setiap kebijakan pada akhirnnya harus kompromistis sehingga muncul istilah the second best theory karena kebijakan yang optimal tidak dapat dicapai, alasannya adalah karena kebijakan PPN 12% mendapat pertentangan kuat dari masyarakat dan pengusaha, beserta wakilnya di DPR.

Prianto juga melihat potensi penerimaan negara dari PPN 12% barang mewah tersebut masih belum dapat dihitung. Hal itu karena Pemerintah tidak memiliki kriteria barang mewah yang baku. Pada intinya, jika ada barang yang ditetapkan sebagai objek PPnBM melalui PerMenkeu, barang tersebut dianggap barang mewah. Jika ada barang yang menurut masyarakat dianggap mewah, tapi tidak terutang PPnBM maka barang tersebut tidak dikategorikan sebagai barang mewah.

Baca Juga: DPR Pastikan PPN 12% Berlaku Untuk Barang Mewah Mulai Januari 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×