Reporter: Adi Wikanto | Editor: Edy Can
JAKARTA. Kaukus Ekonomi Konstitusi DPR mendesak pemerintah menyelesaikan kisruh penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Bila kasus tersebut belum tuntas, DPR meminta pemerintah menghentikan penjualan saham badan usaha milik negara (BUMN) lainnya.
Kaukus Ekonomi ini meminta polemik IPO Krakatau Steel diselesaikan secara tuntas. Pemerintah diminta mengungkapkan motif penjualan saham perdana produsen baja nasioanal yang dianggap terlalu murah itu. "Selama kasus-kasus itu belum selesai, pemerintah jangan menjual perusahaan BUMN dulu," kata Ketua Kaukus Ekonomi Konstitusi, Arif Budimanta, Senin (22/11).
Sebagian kalangan menuding harga saham perdana Krakatau Steel sebesar Rp 850 per saham terlalu murah. Namun, pemerintah dan perusahaan penjamin emisi IPO Krakatau Steel menilai harga tersebut sudah sesuai dengan valuasi.
Kaukus Ekonomi ini juda menuntut menteri negara BUMN membeberkan nama-nama pejabat dan politisi yang meminta jatah saham KRAS. Apalagi, saat ini Dewan Pers juga tengah mengusut keterlibatan sejumlah wartawan yang meminta saham KRAS.
Ke depannya, Kaukus Ekonomi mendesak setiap BUMN dijadikan perusahaan public non listed. Artinya, BUMN itu menjadi perusahaan terbuka tapi sahamnya tidak dijual. Dengan demikian, Kaukus Ekonomi ini berharap perusahaan tersebut harus tetap menjalankan kewajiban seperti perusahaan yang sudah IPO agar kinerjanya lebih transparan. "Jangan seperti sekarang, perusahaan yang tidak jelas kinerjanya malah dijual dengan IPO, akibatnya kita hanya mendapat harga yang murah," terang Arif.
Kemudian, untuk IPO BUMN, Kaukus ini juga berharap, dilakukan secara istimewa. IPO tersebut tidak boleh disamakan dengan perusahaan non BUMN. Sebab, umumnya, saham BUMN selalu sukses di pasaran. "Harus ada aturan khusus untuk IPO BUMN, terutama terkait tatacara penetapan harga dan distribusi saham yang mengedepankan rakyat Indonesia," jelas Arif.
Sementara, untuk permodalan bisnis, Kaukus Ekonomi menyarankan, setiap BUMN tidak perlu lagi menyetorkan deviden lagi. Deviden tersebut harus dikembalikan ke perusahaan untuk ekspansi usaha. Apalagi, selama ini, total deviden BUMN hanya sekitar Rp 25 triliun per tahun. "Nilai deviden itu tidak sebanding dengan besarnya APBN yang mencapai Rp 1.200 triliun per tahun, sehingga bila deviden tidak disetorkan, tidak masalah," jelas Wakil Ketua Kaukus Ekonomi Sadar Subagyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News