Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) tidak berbanding lurus dengan produksi minyak tanah air. Walhasil, impor minyak dalam jumlah besar terjadi dan mengakibatkan anggaran subsidi BBM membengkak.
Praktisi Energi Cecep Mulyana berpendapat, perlu ada revolusi mental dalam sektor migas yang perlu diusung pemerintahan baru. Produksi minyak nasional terus menurun, berdasarkan data Juli 2014 produksi minyak hanya separuh dari produksi tahun 1977 yaitu sebesar 788.000 barel per hari.
Karena itu, eksplorasi minyak menjadi hal wajib. Menurut Cecep, pemerintahan baru harus meningkatkan produksi minyak. Saat ini dari 60 cekungan minyak, masih ada 29 cekungan yang belum dieksplorasi.
Selain itu, berdasarkan data Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) mencatat, ada 69 jenis izin di sektor hulu migas yang meliputi 284 proses yang melibatkan 17 instansi pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat merampingkan proses bisnis di sektor hulu agar menjadi lebih efisien.
"Kalau tidak melakukan apa-apa, Indonesia akan menjadi net energi importer mulai tahun 2019," pungkas Mantan Vice President Total Indonesia tersebut di Jakarta, Senin (8/9). Kebutuhan energi pada tahun 2019 mencapai 6,19 juta boepd sedangkan penyediaan energi mencapai 6,04 juta boepd.
Analis Kebijakan Energi Umar Said menambahkan, pengalihan subsidi BBM harus dilakukan ke sektor tradisional seperti pertanian dan perkebunan. Sektor tradisional memberi pekerjaan dan penghidupan banyak orang, namun menjadi sumber kemiskinan.
Usaha mikro tradisional harus dibantu. Namun, APBN tidak memberi ruang fiskal yang cukup. "Peluang yang ada adalah alihkan subsidi BBM untuk mendanai porgram sektor tradisional," tutur Umar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News