Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi mengumumkan pasangan Joko Widodo dan Ma'aruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2019-2024.
Menyusul jilid kedua pemerintahan Jokowi, berbagai persoalan ekonomi menanti di depan mata. Terutama di tengah tekanan situasi global dan perlambatan ekonomi dunia yang diprediksi menjegal laju pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, gentingnya persoalan ekonomi sudah terefleksi dari riwayat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada pemerintahan Presiden Jokowi jilid pertama yang hanya berkisar 5%.
"Memang kita lebih tinggi dari beberapa negara tetangga ASEAN, tapi tren pertumbuhan mereka progresif sementara kita stagnan. Padahal potensi kita lebih besar lagi," ujar Enny kepada Kontan.co.id, Selasa (21/5).
Peningkatan produktivitas dan daya saing perekonomian Indonesia, menurut Enny, sejatinya telah dicanangkan Jokowi dalam Nawacita sejak awal pemerintahan. Namun, menurutnya, implementasi dari kebijakan-kebijakan masih sangat lambat.
Lantas, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga. Enny menilai, hal ini bukanlah buruk, hanya saja mustahil untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% yang dicita-citakan Jokowi di awal pemerintahan jilid pertamanya.
"Apalagi daya beli masyarakat tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan-kebijakan 'doping' seperti cash transfer dalam bentuk PKH (program keluarga harapan), dana bansos (bantuan sosial), Rastra dan sebagainya. Ini tidak cukup untuk mengakselerasi pertumbuhan," tutur Enny.
Oleh karena itu, Enny berharap pemerintah selanjutnya benar-benar serius dan fokus memastikan sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor produktif yang didorong oleh investasi. Pasalnya, realisasi penanaman modal, terutama dari asing, masih loyo.
Dalam struktur pertumbuhan, kontribusi pembentukan modal tetap bruto (PMTB) stagnan, bahkan menurun. Tahun 2014, kontribusi PMTB terhadap pertumbuhan sebesar 32,57%, sedangkan pada kuartal I-2019 kontribusi tersebut menurun menjadi 32,17%.
"Selain itu, pemerintah mesti pastikan juga proporsi investasi yang masuk nantinya mengarah ke sektor riil, bukan hanya ke sektor tersier atau jasa. Ini penting karena mempengaruhi multiplier effect-nya terhadap perekonomian, seperti penciptaan lapangan kerja misalnya," ujar Enny.
Ia juga menilai, paket-paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sampai saat ini masih sekadar komitmen dan belum terimplementasi secara maksimal.
"Ada gap besar antara target dalam RPJMN 2014-2019 pertumbuhan 7% dengan realisasi 5%. Terlepas dari masalah global, gap sebesar itu memang mengartikan ada kegagalan dalam tim ekonomi Jokowi jilid pertama," katanya.
Oleh karena itu, Enny berharap, upaya nyata pemerintah dalam memperbaiki struktur perekonomian dan mengakselerasi pertumbuhan bisa lebih terlihat di periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Keberhasilan pemerintahan periode ke depan dalam mendorong dan memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi bakal sangat menentukan arah jalan keluar Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah yang ditakutkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News