Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Putuan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 P/HUM/2019 terkait pembatalan pasal 3 ayat 7 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 mulai menimbulkan polemik dan berbagai tafsir dari publik, terutama para pendukung dari dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2019 lalu.
Putusan MA tersbut pada intinya menganggap Pasal 3 ayat (7) PKPU 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Ada yang berpendapat bahwa hasil Pilpres 2019 lalu akan ikut berpengaruh terhadap pembatalan pasal dalam PKPU 5 tahun 2019 ini karena aturan KPU terkait penetapan pemenang Pilpres dua pasangan calon ini dibatalkan MA.
Namun, tafsir tersebut dibantah oleh para Pakar Hukum Tata Negara yang melihat putusan MA ini tidak akan mempengaruhi hasil Pilpres yang sudah ditetapkan KPU.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mrengatakan, Putusan MA Nomor 44 P/HUM/2019 itu diplintir sesuka hati. Dalam Putusan ini, MA hanya menguji secara materil PKPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak.
“Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (7/7).
Menurut dia, menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena hal itu menjadi kewenangannya. MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa Pilpres. Putusan MK itu final dan mengikat. Dalam
“Pentapan kemenangan Jokowi dan Kiyai Ma'ruf, KPU merujuk pada Putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subijanto dan Sandiaga Uno,” tambah dia.
Apalagi, putusan uji materil itu diambil oleh MA tanggal 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kiyai Ma'ruf dilantik oleh MPR. Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang.
Aturan Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Ketentuan Pasal 3 ayat 7 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan. Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi2 sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri.
“Patut disadari bahwa Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan. MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tsb, sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu. Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tsb bertentangan dengan Putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya,” kata dia.
Putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, mala Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2007 tentang Pemilu.
Nadirsyah Hosen, Dosen Senior Fakultas Hukum Monash University Australia meliha ada dua implikasi dari putusan MA tersebut.
Pertama, Apakah penetapan Jokowi - Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 menjadi batal demi hukum? .
“Saya berpendapat tidak demikian. Putusan MA tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 30 Juni 2019. Empat bulan sebelum adanya putusan MA. Karena itu Jokowi-Ma’ruf Amin tetap sah sebagai Presiden -Wapres periode 2019-2024,” ujar dia dalam keterangannya, Selasa (7/7).
Kedua, jika putusan MA hanya bersifat proaktif dan hanya berlaku untuk ke depan, maka implikasinya adalah UU 7/2017 harus diamandemen, untuk mengantisipasi hanya ada dua pasangan calon di Pilpres 2024 seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019.
Repotnya, Pasal 416 UU7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti 2 pasangan.
Tapi celah itu sudah tertutup sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019.
“Ini artinya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU itu bukan saja tidak logis tetapi juga berbeda dengan penafsiran MK di kedua putusannya tahun 2014 dan 2019,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News