kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pengamat: Putusan MA bisa memicu kembali polemik hukum hasil Pilpres


Rabu, 08 Juli 2020 / 00:08 WIB
Pengamat: Putusan MA bisa memicu kembali polemik hukum hasil Pilpres
ILUSTRASI. Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) saat melakukan pertemuan di FX Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). Kedua kontestan Pilpres 2019 itu sepakat untuk menjaga kesatuan dan persatuan di Ind


Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada 3 Juli 2020 lalu, Mahkamah Agung (MA) mengunggah hasil putusannya yang bisa menimbulkan kembali polemik tentang hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu.

Keputusan tersebut sesungguhnya bukan keputusan yang baru kemarin, namum baru dipublikasikan dalam website resmi MA pada 3 Juli lalu. Putusan Mahkamah Agung No 44 P/HUM/2019 tertanggal 28 Oktober 2019 itu berpotensi menimbulkan polemik mengenai keabsahan hasil Pilpres 2019.

Intinya putusan itu menganggap Pasal 3 ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pangkal persoalannya mengenai pasangan capres-cawapres yang hanya dua orang. Peraturan KPU mengisi celah ruang kosong yang tidak diatur oleh UU Pemilu. Sehingga tanpa perlu ada putaran kedua dan tanpa perlu mempertimbangkan syarat kemenangan suara dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,

KPU menetapkan pasangan capres-cawapres dengan suara terbanyak sebagai pemenangnya. Aturan ini ternyata dibatalkan oleh MA.

Nadirsyah Hosen, Dosen Senior Fakultas Hukum Monash University Australia meliha ada dua implikasi dari putusan MA tersebut.

Pertama, Apakah penetapan Jokowi - Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 menjadi batal demi hukum? .

“Saya berpendapat tidak demikian. Putusan MA tertanggal 28 Oktober ini tidak berlaku surut (non-retroaktif). Keputusan KPU menetapkan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang itu tanggal 30 Juni 2019. Empat bulan sebelum adanya putusan MA. Karena itu Jokowi-Ma’ruf Amin tetap sah sebagai Presiden -Wapres periode 2019-2024,” ujar dia dalam keterangannya, Selasa (7/7).

Kedua,  jika putusan MA hanya bersifat proaktif dan hanya berlaku untuk ke depan, maka implikasinya adalah UU  7/2017 harus diamandemen, untuk mengantisipasi hanya ada dua pasangan calon di Pilpres 2024 seperti yang terjadi pada Pilpres 2014 dan 2019.

Repotnya, Pasal 416 UU7/2017 itu merupakan norma yang disadur dari Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Artinya, ada kemungkinan UU Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), selama Pasal 6A UUD 1945 tidak diamandemen untuk mengakomodasi Pilpres hanya diikuti 2 pasangan.

Tapi celah itu sudah tertutup sebenarnya dengan adanya dua putusan MK masing-masing No. 50/PUU-XII/2014 dan No. 39/PUU-XVII/2019.

“Ini artinya putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU itu bukan saja tidak logis tetapi juga berbeda dengan penafsiran MK di kedua putusannya tahun 2014 dan 2019,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×