Sumber: Kompas.com | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Presiden Joko Widodo menilai, ada dua aspek yang harus dipertimbangkan sebelum Indonesia memutuskan menandatangani ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Pertama, pemerintah mempertimbangkan kesehatan warga yang lebih sehat dan pertumbuhan generasi muda yang lebih baik jika peredaran tembakau dan rokok dibatasi dan dikendalikan. Namun yang kedua, pemerintah juga mempertimbangkan nasib petani dan buruh tembakau yang terancam kehilangan lapangan kerja jika ratifikasi dilakukan.
"Kita perlu memikirkan, ini yang kadang-kadang juga dilupakan kelangsungan hidup para petani tembakau, para buruh tembakau yang hidupnya bergantung dari industri tembakau. Ini juga tidak kecil, menyangkut orang yang sangat banyak," kata Presiden saat membuka rapat terbatas mengenai FCTC di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (12/6/2016).
Menteri Kesehatan Nila F Moloek usai rapat mengatakan, sudah ada solusi awal untuk mengontrol dan membatasi jumlah tembakau, namun petani tembakau bisa tetap mata pencaharian sebagaimana mestinya.
Caranya, yakni dengan membatasi atau menyetop impor tembakau yang berasal dari luar negeri. "Pak Presiden tadi yang mengatakan, kita mengurangi impor tembakau, akan dihitung dulu oleh Menkeu," kata Nila usai rapat.
Nila menambahkan, rapat terbatas hari ini memang belum mengambil banyak keputusan karena baru rapat perdana. Pemerintah akan melakukan ratas selanjutnya untuk membahas lebih dalam mengenai masalah ini. "Semua harus komprehensif, hitung semua, tidak hanya kesehatan tapi juga lain-lainnya, untuk bijak kita mengambil keputusannya," kata Nila.
Saat ini Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani aksesi Convention on Tobacco Control (FCTC). Berdasarkan data World Health Organization, sampai dengan bulan Juli 2013 sudah 180 negara yang telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC.
(Ihsanuddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News