kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Jepang dan Thailand pulih, impor melonjak


Rabu, 11 Juli 2012 / 16:01 WIB
Jepang dan Thailand pulih, impor melonjak
ILUSTRASI. Salah satu manfaat kayu manis adalah digunakan sebagai cara mengatasi asam lambung.


Sumber: KONTAN MINGGUAN 41 XVI 2012, Laporan Utama6 | Editor: Imanuel Alexander

Produk-produk impor semakin gencar menyerbu Indonesia. Alhasil, dua bulan berturut-turut, April dan Mei 2012, impor menguasai neraca perdagangan kita. Defisit pun tercetak di lembaran neraca dagang negeri ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama Mei 2012 impor naik sebesar 1,61% menjadi US$ 17,21 miliar ketimbang April yang cuma US$ 16,93 miliar. Tapi, sepanjang Januari hingga Mei 2012, impor melonjak 16,62% jadi US$ 79,89 miliar dibandingkan dengan periode yang sama di 2011 lalu yang hanya US$ 68,50 miliar.

Impor nonmigas pada Mei 2012 yang menorehkan kenaikan tertinggi ialah kendaraan bermotor dan bagiannya yang meningkat 14,95% menjadi US$ 927,3 juta dibanding April. Hanya, dalam lima bulan pertama tahun ini, impor kelompok barang ini melonjak 45,79% menjadi US$ 4,02 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Adapun kelompok barang dengan nilai impor terbesar selama Mei 2012 adalah mesin dan peralatan mekanik sebanyak US$ 2,48 miliar atau naik 8,7% ketimbang April. Mesin dan peralatan mekanik juga mendominasi impor kita pada Januari - Mei 2012 dengan nilai US$ 11,41 miliar.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), selama Januari-Mei 2012, kelompok alat angkut untuk industri, yakni kendaraan bermotor khusus industri, perlengkapan pesawat terbang, kapal laut, dan perahu motor mengalami peningkatan hingga 76% dibanding periode yang sama di 2011.

Sementara, impor barang konsumsi pada Januari - Mei 2012 hanya naik 6,1% dibandingkan Januari - Mei 2011. “Jadi, memang pertumbuhan impor barang konsumsi kita cenderung menurun dari bulan ke bulan, tapi tidak bahan baku penolong dan barang modal,” kata Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan.

Butuh untuk produksi

Franky Sibarani, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), membenarkan bahwa terjadi penurunan impor di sektor konsumsi, termasuk makanan dan minuman. Sebaliknya, impor barang modal dan bahan baku penolong terus meningkat.

Sebab, industri manufaktur kita membutuhkan bahan baku untuk berproduksi. “Industri kita tumbuh. Cuma sayang, dari
Orde Baru sampai sekarang industri pendukung produksi barang modal tidak dikembangkan,” sesal Franky.

Industri yang sarat bahan baku impor antara lain farmasi. Sektor industri ini mengimpor 95% bahan baku untuk membuat obat. Industri yang juga mendatangkan bahan baku dari luar negeri dalam jumlah besar adalah industri plastik. Kemudian, “Industri tekstil, mulai dari seratnya, benang, sampai mesin semua impor,” ungkap Franky.

Menurut Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), impor bahan baku untuk industri tekstil terus naik. Namun, kenaikan impor di industri tekstil sebenarnya menyiratkan optimisme. Lantaran, industri tekstil Indonesia berarti akan tumbuh lebih tinggi tahun ini. Hingga Mei lalu, industri tekstil hanya tumbuh rata-rata 2%. Tapi, “Industri tekstil akan meningkat lebih tinggi lagi,” ujar Ade yakin.

Alhasil, Ade optimistis, defisit neraca perdagangan di industri tekstil hanya akan terjadi selama tiga bulan berturut-turut, mulai April hingga Juni. Kondisi ini tidak akan berlanjut sampai akhir tahun nanti. Mulai Juli hingga Desember, dia memperkirakan, ekspor tekstil Indonesia akan kembali pulih. “Belum pernah terjadi dalam sejarah, tekstil mengalami defisit lebih dari tiga bulan berturut-turut,” tegas Ade optimistis.

Menurut Ade, impor tekstil China ke Indonesia hanya sekitar 1% saja dibandingkan dengan seluruh ekspor produk tekstil mereka ke bagai dunia. Walau begitu, produk tekstil impor dari China tetap membuat produsen lokal kelabakan. Pasalnya, kapasitas produksi tekstil dalam negeri tidak mampu menyaingi produk impor dari Negeri Tembok Raksasa itu karena industri tekstil lokal masih terkendala pasokan gas dan listrik. “Serbuan tekstil impor akan makin kuat ke dalam negeri,” imbuhnya.

Kalau sudah begitu, Ade menambahkan, surplus neraca perdagangan di sektor tekstil yang rata-rata sebesar US$ 5 miliar per tahun bisa berkurang menjadi tinggal US$ 2 miliar. “Produk impor masuk karena ada permintaan yang meningkat di dalam negeri, sedangkan pangsa pasar produsen di dalam negeri tak bisa bersaing dengan mereka,” terang Ade.

Tak hanya tekstil, Hadi Surjadipraja, Ketua Umum Gabungan Industri Alat-Alat Mobil dan Motor (GIAMM), menjelaskan, komponen mobil dan sepeda motor asal China yang masuk ke negara kita juga makin banyak. Bahkan, produk kelompok ini sudah menyerbu ke Indonesia sebelum pemberlakuan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).

Setelah perjanjian perdagangan bebas berlaku, komponen mobil dan sepeda motor asal China semakin mengalir deras ke Indonesia. Begitu pula dengan komponen dari Jepang sejak pemberlakuan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). “Pemerintah mesti mengecek komponen yang masuk, apakah sesuai dengan SNI sebelum beredar di Indonesia,” pesan Hadi.

Impor kendaraan bermotor dan bagiannya makin marak tahun ini setelah industri otomotif Jepang bangkit dari keterpurukan setelah kena hantaman bencana tsunami tahun lalu. Begitu juga dengan impor kendaraan bermotor dari Thailand yang kembali normal setelah industri otomotif di negeri Gajah Putih kembali pulih pascabencana banjir di 2011.

Hanya, Bayu Krisnamurti menuturkan, derasnya impor barang modal dan bahan baku penolong sebetulnya baik bagi industri dalam negeri sehingga mereka terus berproduksi. Namun, “Ini peringatan bagi pemerintah bahwa industri supporting, bahan baku, dan bahan penolong harus dikembangkan, harus diperkuat struktur industrinya,” tutur Bayu.

Catatan Apindo, rencana tersebut merupakan program jangka panjang yang sudah masuk dalam program hilirisasi. “Dalam jangka pendek, pemerintah harus mengevaluasi kebijakan di bidang perdagangan lebih dulu,” kata Franky.
Jadi, kembali lagi, keputusan untuk memperbaiki keadaan ada pada pemerintah. Tapi, apakah pemerintah mau?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×