Sumber: KONTAN MINGGUAN 41 XVI 2012, Laporan Utama1 | Editor: Imanuel Alexander
Rapor neraca perdagangan Indonesia kembali terbakar alias merah pada Mei 2012 lalu. Artinya, dua bulan berturut-turut neraca perdagangan mengalami defisit. Itu berarti nilai impor lebih besar ketimbang ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan kita pada April 2012 mencetak defisit sebesar US$ 641 juta. Sebab, ekspor di bulan itu hanya US$ 15,98 miliar, sedang impor mencapai US$ 16,62 miliar. Torehan buruk ini pertama terjadi sejak neraca perdagangan bulanan defisit pada Juli 2008 sebesar US$ 342 juta.
Celakanya, ya, itu tadi, neraca perdagangan negeri ini pada Mei 2012 juga membukukan defisit sebesar US$ 485,9 juta. Gara-garanya, ekspor di bulan itu cuma sebanyak US$ 16,72 miliar, sementara impor mencapai US$ 17,21 miliar.Untung sepanjang Januari–Mei 2012, neraca perdagangan masih mencatat surplus sebesar US$ 1,5 miliar. Tapi, kalau kita cermati, impor di lima bulan pertama tahun ini melonjak 16,6% menjadi US$ 79,89 miliar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Adapun ekspor hanya naik 1,5% menjadi US$ 81,4 miliar. Gawat.
Defisit perdagangan selama April dan Mei 2012 itu buntut dari lonjakan impor dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia, seperti China, Thailand, Jepang, Korea Selatan, serta Singapura. “Defisit perdagangan Indonesia dengan Thailand, misalnya, karena kita impor mobil dan gula,” jelas Suryamin, Kepala BPS. Ya, industri otomotif Negeri Gajah Putih menggeliat lagi setelah sempat hancur lebur akibat terjangan banjir besar tahun lalu. Alhasil, mereka mulai kembali memasok kendaraan bermotor ke Indonesia.
Perdagangan bebas
Toto Dirgantoro, Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), mengungkapkan, krisis ekonomi yang membalut Eropa menjadi biang kerok atas lesunya ekspor kita lantaran permintaan menurun. Kondisi ini diperparah oleh perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara, seperti China dan Jepang. “Thailand juga merasakan seperti yang kita rasakan,” ujarnya.
Memang, perjanjian perdagangan bebas yang berefek pada tarif bea masuk tinggal 0% sudah berlaku sejak beberapa tahun lalu. Contoh, ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) jalan mulai 2010, lalu Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) bergulir sejak 2008.
Tapi, ada beberapa produk yang diskon tarif bea masuknya baru berlaku mulai 2012. Misalnya, sebanyak 304 produk dari China yang masuk kategori sensitive list mulai mendapat potongan tarif bea masuk menjadi 20% tahun ini. Barang-barang itu antara lain tas dan dompet kulit, sepatu olahraga dan kasual, kacamata, boneka, alat olahraga, dan alat tulis.
Tentu saja, produk-produk asal Negeri Tembok Raksasa itu makin mengalir deras ke negara kita. Bagaimana tidak? Barang-barang buatan China, kan, terkenal dengan harganya yang supermurah. Tengok saja data BPS. Selama Januari–Mei 2012, impor dari Jepang melesat 36,55% menjadi US$ 2,58 miliar dibandingkan dengan periode yang sama di 2011, dan China naik 22,04% jadi US$ 2,14 miliar.
Tak heran, Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, mengatakan, ke depan neraca perdagangan masih akan defisit. Soalnya, Indonesia lebih banyak mengekspor bahan mentah dan primary industry (industri primer) yang berharga murah, namun mengimpor produk secondary industry (industri sekunder) dan advance industry (industri maju) yang berlabel mahal. “Lama-lama kita akan sulit menyeimbangkan neraca dagang,” kata Bayu.
Lana Soelistyaningsih, ekonom Universitas Indonesia, setuju defisit neraca perdagangan kita akibat perjanjian perdagangan bebas. Tapi, ia menambahkan, pencatatan ekspor yang kini lebih ketat setelah ada aturan tentang pemulangan devisa hasil ekspor dari Bank Indonesia (BI) juga menjadi penyebab. “Volume lebih rendah dari sebelumnya, sehingga kita defisit,” papar dia.
Bank sentral tidak membantah pendapat Lana. “Bisa saja itu terjadi, tapi seberapa besar dampaknya baru akan ketahuan akhir Juli ini,” tutur Diffi A. Djohansyah, juru bicara BI. Cuma, A. Prasetyantoko, ekonom Universitas Atma Jaya, menilai, penurunan harga komoditas di pasar dunia dan penerapan bea keluar 20% terhadap ekspor bahan mineral mentah sebagai penyebab utama ekspor kita melesu. “Perdagangan bebas pasti berpengaruh, tapi dua faktor ini yang
paling utama,” ucapnya.
Tetap saja bahaya, dong?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News