kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Konsumen lebih suka yang impor


Rabu, 11 Juli 2012 / 15:35 WIB
Konsumen lebih suka yang impor
ILUSTRASI. Ekonom CORE sebut vaksin AstraZaneca dan Pfizer punya efektivitas tinggi


Sumber: KONTAN MINGGUAN 41 XVI 2012, Laporan Utama3 | Editor: Imanuel Alexander

Pedagang mainan di Pasar Gembrong, Jakarta Timur, ini tetap asyik merakit mainan helikopter tempur Apache warna hitam pesanan seorang pembeli. Usai merakit, ia menekan dua tombol pada remote control, perlahan tapi pasti capung besi mungil itu terbang meliuk-liuk di ketinggian 1 meter.

Uji coba terbang itu akhirnya selesai setelah Firman menerima uang sebesar Rp 200.000 dan mainan helikopter itu beralih ke tangan pembeli. “Helikopter remote control itu dari China,” ujar Firman.

Lantaran harganya terbilang murah, helikopter remote control buatan Negeri Tembok Raksasa menjadi salah satu mainan yang konsumen cari. Bukan semata murah, tampilan yang nampak kokoh serta teknologi terkini makin menarik minat para pembeli.
Sayang, kondisi serupa tidak melekat pada produk mainan bikinan dalam negeri. “Mainan lokal kelihatan ringkih, sehingga konsumen tidak berminat membeli,” kata Firman.

Tak heran, makin banyak pedagang mainan yang memilih menjual produk China, apalagi, pasokannya lancar. Saban bulan mengalir deras penawaran dalam bentuk katalog dari distributor maupun importir produk mainan China.

Bisnis jualan mainan impor asal China ini memang cukup menggiurkan. Sebab, menurut Firman, omzetnya bisa mencapai sekitar Rp 6 juta per hari di hari biasa. Pada Sabtu dan Minggu atau hari libur nasional, penghasilan bisa naik menjadi Rp 10 juta. “Saya sudah tiga tahun berjualan mainan,” aku Firman yang memiliki tiga kios di Pasar Gembrong.

Ahmad, pedagang mainan lainnya di Pasar Gembrong, mengungkapkan, permintaan mainan asal China kian meningkat. Makanya, dalam tiga bulan terakhir suplainya bertambah. “Kebanyakan mainan yang saya jual memang impor China,” katanya yang walau hanya mengandalkan lapak kaki lima, omzet dia Rp 2 juta per hari.

Dhanang Sasongko, Ketua Umum Asosiasi Perajin Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (Apmeti), membenarkan, sejak keran perdagangan bebas dengan China dibuka, banjir mainan impor terus masuk ke Indonesia dan menggencet mainan lokal. Sebab, “Produk mainan China lebih unggul karena telah jadi industri berbasis teknologi, sedangkan di Indonesia masih tergolong industri kerajinan,” ujar Dhanang.

Banjir produk China tidak hanya mainan. Produk tekstil seperti pakaian mengalir deras masuk ke negara kita. Tengok saja Pasar Tanah Abang. Produk tekstil menguasai pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara ini. Porsi produk China di sejumlah toko selama tiga bulan terakhir terus naik hingga mencapai 70%. “Produk lokal sulit bersaing dengan produk Cina karena tidak tanggap terhadap model. Produk China banyak diminati karena modelnya yang menyesuaikan zaman,” kata Suryani, begitu saja namanya kita sebut.

Wanita paruhbaya ini merasa selalu mudah mendapat pasokan produk tekstil dari China karena sudah memiliki agen. Beberapa bulan belakangan mereka mengeluarkan produk-produk berbau Korea Pop (K-Pop) yang sedang digandrungi anak-anak muda Indonesia. “Produk mereka bergenre K-Pop yang sedang tren,” kata pedagang yang beromzet miliaran per bulan ini.

Serbuan produk China dalam beberapa bulan belakangan juga menginvasi Pusat Elektronik Harco Mangga. Produk elektronik dari China yang masuk ke sana, semisal DVD, ponsel, dan televisi. Harga yang murah tapi kualitas tidak kalah dengan produk elektronik negara lain menjadi faktor barang China dicari pembeli.

Pedagang di Harco Mangga Dua mengaku membeli DVD player seharga Rp 150.000 per unit dari pemasok di Jakarta Utara, lalu ia menjualnya ke konsumen Rp 350.000. Dari Glodok, barang dikirim lagi ke daerah. “Produk China disukai karena produk lokal masih mahal,” kata pedagang yang menolak ditulis namanya. o

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×