kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Pemerintah kaji ulang perjanjian yang merugikan


Rabu, 11 Juli 2012 / 15:41 WIB
Pemerintah kaji ulang perjanjian yang merugikan
ILUSTRASI. Jadwal Copa America 2021 Chile vs Bolivia: Skuad La Roja lebih siap lawan La Verde. REUTERS/Ricardo Moraes


Sumber: KONTAN MINGGUAN 41 XVI 2012, Laporan Utama4 | Editor: Imanuel Alexander

Akhirnya pemerintah gerah juga melihat neraca perdagangan Indonesia dengan sejumlah negara yang menjalin kerjasama perdagangan bebas terus mengalami defisit. Ibarat seekor macan yang terusik tidur pulasnya, pemerintah pun “murka” melihat produk impor dari negara-negara kongsi itu membanjiri pasar industri dalam negeri.

Guna menekan penetrasi barang impor itu, pemerintah berniat mengkaji ulang sejumlah perjanjian perdagangan bebas. Salah satunya adalah dengan melakukan renegosiasi kerjasama perdagangan bebas yang tertuang dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) tahun depan. Perjanjian yang berlaku mulai 1 Juli 2008 ini diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada 20 Agustus 2007 lalu di Jakarta.

Iman Pambagyo, Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, menyatakan, saat ini pemerintah masih mengkaji, apakah kerjasama dengan Jepang melalui IJEPA betul-betul menguntungkan kedua belah pihak atau tidak. “Jika ada kerjasama yang kurang menguntungkan Indonesia, akan dicari jalan keluar,” ujarnya.

Neraca perdagangan non-migas Indonesia dengan Jepang sepanjang Januari hingga Mei 2012 memang membukukan defisit sebesar US$ 2,38 miliar. Padahal, selama periode yang sama di 2011, neraca dagang kita dengan Negeri Matahari Terbit masih surplus, walau hanya US$ 240 juta.
Untungnya, neraca perdagangan migas dan non-migas Indonesia dengan Jepang pada empat bulan pertama tahun ini masih surplus besar sebanyak US$ 2,94 miliar. Sebab, total ekspor kita ke Jepang mencapai US$ 10,69 miliar dan impor cuma US$ 7,74 miliar.
Walau begitu, Iman memastikan, pemerintah akan mengkaji ulang IJEPA bersama Jepang. Bisa saja, dalam evaluasi periodik dengan negara itu terjadi kesepakatan untuk komitmen yang lebih baik. Atau sebaliknya, masing-masing menarik sejumlah komitmen.

Sebetulnya, buntut dari IJEPA, ada 11.163 pos tarif dari Indonesia yang mendapat fasilitas penurunan tarif bea masuk hingga 0%. Sementara dari Jepang hanya 9.275 pos tarif. Sejatinya, negara kita lebih diuntungkan lantaran jumlah jenis produk yang memperoleh fasilitas itu lebih banyak.

Tapi, kenyataan di lapangan berbicara lain. Ternyata, tak mudah bagi produk kita menembus pasar Jepang. Contohnya, produk Indonesia belum memenuhi berbagai standar Jepang. “Tapi semestinya, Jepang membantu Indonesia meningkatkan kemampuan agar memenuhi standar,” tegas Iman.

Jepang pun siap duduk dengan Indonesia untuk membicarakan ulang kerjasama perdagangan bebas. “Yang penting evalusi ini kita lihat posisinya seperti apa, kalau ada masalah ketimpangan perdagangan tentu harus diselesaikan,” imbuh Hiroshi Aimoto, Direktur Biro Kebijakan Perdagangan Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang.

Yang jelas, Hiroshi menyatakan, negaranya sangat diuntungkan IJEPA. “Pertumbuhan investasi Jepang di Indonesia meningkat signifikan,” ungkapnya. Karena, ya, itu tadi, banyak produk Jepang yang mendapat kan fasilitas penurunan tarif bea masuk hingga 0%.

Selain IJEPA, pemerintah juga bakal mengkaji ulang kerjasama perdagangan bebas dengan China yang termaktub dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Sekarang, Iman mengungkapkan, pemerintah tengah melakukan proses rekalibrasi bilateral dengan China. Tujuannya, untuk menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara.

Minta fasilitas

Iman menjelaskan, rekalibrasi beda dengan renegosiasi. Dalam proses rekalibrasi, Indonesia hanya akan meminta China untuk memberikan fasilitas ekspor buat pengusaha kita. “Kalau ada hambatan di standar produk, kami akan minta Pemerintah China memberi tahu bagaimana cara memenuhi standar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” katanya.

Menurut Iman, Indonesia bakal menemukan banyak kesulitan jika jalan yang ditempuh adalah renegosiasi ACFTA. Soalnya, upaya ini harus melibatkan semua negara ASEAN yang terlibat dalam kerjasama itu. Proses tersebut akan ribet dan memakan waktu lama.

Tak hanya itu, semua negara ASEAN yang dirugikan dengan permintaan renegosiasi Indonesia akan meminta kompensasi. Bisa saja, mereka minta produknya yang akan masuk ke negara kita dibebaskan bea masuk. Atau, mereka menaikkan tarif bea masuk produk dari Indonesia. “Permintaan renegosiasi juga akan menimbulkan kesan kepada negara lain bahwa Indonesia maju mundur dalam kerjasama perdagangan bebas,” tutur Iman.

Toh, Iman tidak melihat ACFTA menjadi biang keladi membanjirnya produk China di pasar Indonesia. Dia lebih sepakat jika maraknya barang impor China lantaran daya saing produk lokal lemah. Produk dalam negeri masih terlalu mahal harganya. Kualitas dan suplainya pun belum terjamin. “Bisnis itu selalu berorientasi mencari untung. Wajar, pedagang memilih mendatangkan produk China karena murah,” katanya.

Iman menambahkan, ACFTA sudah berlaku sejak 2005. Mulai 2010, penurunan tarif hingga 0% untuk kelompok normal track sudah selesai. Tahun ini, fasilitas penurunan tarif hingga 20% untuk sejumlah produk yang masuk kategori sensitive list mulai berlaku. Penurunan tarif hingga 0% buat kelompok ini baru berjalan 2018.

Tapi, apakah pemerintah akan membiarkan begitu saja barang-barang dari China “menjajah” Indonesia? Sejak tahun 2007 hingga kini defisit neraca perdagangan dengan China terus membukukan defisit.

Peringatan ini juga berlaku bagi kerjasama perdagangan bebas dengan negara lainnya. Pasalnya, neraca dagang dengan Thailand, Singapura, Australia, dan Selandia Baru, yang berkongsi perdagangan bebas, juga sudah defisit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×