Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Intan memberi contoh, ketika tebing-tebing es rubuh, hal ini akan berdampak besar pada permukaan air laut. Namun, kapan kepastian rubuhnya itu yang susah diprediksi. "Nah kalau dari paper itu sendiri, tadi sekilas saya baca, mereka menggunakan metode pengukuran yang lebih akurat. Dan mereka memberi contoh beberapa kota, termasuk Jakarta yang merupakan isu cukup hot ya (diprediksi tenggelam)," katanya yang juga merupakan panel ahli perubahan iklim antar pemerintah (IPCC) PBB.
Terkait perubahan muka laut yang selalu berubah, Intan mengatakan, saat ini panel ilmuwan IPCC PBB juga menyoroti isu perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut dengan merilis Special Report on Ocean and Cryosphere in a Changing Climate (SROCC), kajian terkait kondisi laut dan kriosfer (gletser, lapisan es, dsb) di dunia.
Baca Juga: BMKG: Jabodetabek cerah berawan hari ini
"Kita tahu, permukaan air laut berubah. Berubahnya dari satu tempat ke tempat lain bisa sangat berbeda. Ini juga yang disoroti reportnya IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) PBB," ungkapnya.
Menurut Intan, ada banyak faktor yang dapat memengaruhi perubahan permukaan air laut. Salah satu hal yang disorot dalam jurnal Nature Communication adalah pengaruh tingkat elevasi dan topografi. "Paper ini saya lihat lebih banyak mengakurasikan berdasarkan elevasi dan topografi, tidak menyoroti hal lain seperti dalam laporan PBB, misalnya kalau Jakarta juga dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat lokal," ungkapnya.
Baca Juga: Peringatan dini BMKG: Hari ini hujan berpotensi mengguyur 5 provinsi
Jakarta tenggelam bukan cuma karena perubahan iklim
Untuk penurunan muka tanah di Jakarta, Intan mengatakan, tak hanya disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut. Tanah di Jakarta juga turun karena perilaku masyarakat kita, yakni penyedotan air tanah. Laporan IPCC menunjukkan, perubahan iklim menyebabkan laut semakin panas, semakin asam, dan kekurangan kadar oksigen.