kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

JAIC laporkan Istaka ke KY & Ombudsman


Jumat, 08 April 2011 / 08:01 WIB
ILUSTRASI. Warga berjalan menggunakan payung saat turun hujan di Jakarta, Jumat (10/1/2020).


Reporter: Fahriyadi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Sengketa antara PT Japan Asia Investment Company (JAIC) dan PT Istaka Karya kembali memanas. Kali ini, JAIC melaporkan Istaka ke Komisi Yudisial (KY) dan Ombudsman RI. Sebab, JAIC menilai Istaka tidak secara suka rela melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum dengan sengaja menghambat proses pelaksanaan sita eksekusi aset mereka.

Kuasa Hukum JAIC, Tony Budidjaja mengungkapkan, meski sudah dimenangkan Mahkamah Agung (MA), JAIC tidak kunjung memperoleh haknya agar Istaka melunasi utang mereka Rp 7,6 miliar. Sebab, perusahaan kontraktor pelat merah itu dinilai tidak memiliki iktikad baik untuk melaksanakan putusan. "Ada indikasi Istaka berupaya menyembunyikan aset-asetnya, terutama benda bergerak untuk menghindari pelaksanaan sita eksekusi yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan," kata Tony.

Proses eksekusi putusan MA itu pun mandek dan berlarut-larut. "Ini menjadi preseden buruk serta menimbulkan dampak negatif. Investor bisa enggan berinvestasi di Indonesia karena tidak adanya kepastian hukum," tegasnya.

Taufik Hais, Kuasa Hukum Istaka menghormati sikap JAIC yang melapor ke KY dan Ombudsman. Tetapi ia menegaskan, Istaka sama sekali tak pernah menghambat proses eksekusi.

Ia justru menyarankan JAIC memeriksa kembali putusan MA tersebut apakah eksekusi tersebut dapat dieksekusi atau tidak. "Sebab, Istaka adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seluruh asetnya milik negara," ujar Taufik.

Perkara ini bermula pada 9 Desember 1998, ketika Istaka Karya menerbitkan enam negotiable promissory notes bearer senilai US$ 5,5 juta. JAIC adalah pemegang surat berharga tersebut. Cuma, Istaka Karya tidak kunjung memenuhi kewajiban saat jatuh waktu.

Lalu, pada Juli 2006, JAIC menuntut Istaka ke PN Jakarta Selatan agar membayar utang pokok senilai US$ 7,6 juta, ditambah bunga US$ 2 juta. PN mengabulkan gugatan JAIC. Cuma, Istaka menang di tingkat banding. Di tingkat kasasi MA, JAIC menang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×