Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Meski aturan soal alih daya (outsourcing) cukup mendukung kepentingan pekerja, tetapi aturan dalam bentuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 itu tetap menimbulkan kekhawatiran bagi kalangan pekerja. Salah satu pangkalnya adalah aturan soal pemborongan.
Bagi para pelaku, aturan baru praktik pengalihan sebagian pekerjaan ke pihak lain hanya mengenal dua pola hubungan kerja. Pertama, alih daya alias outsourcing yang tertutup hanya untuk lima bidang pekerjaan. Kedua, sistem pemborongan yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Sekedar menyegarkan ingatan, Permenakertrans tentang Syarat-syarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain yang baru diundangkan Selasa (20/11) hanya mengenal dua pola hubungan kerja. Pertama, alih daya yang tertutup hanya untuk lima bidang pekerjaan. Kedua, sistem pemborongan yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Nah, ketentuan soal sistem pemborongan ini rawan pungutan liar (pungli) dalam proses perizinan yang melibatkan pejabat daerah. Pasal 5 dalam Permenakertrans itu menyebutkan, kesepakatan pemborongan pekerjaan harus dilaporkan ke instansi bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan dilaksanakan. "Jika pengawasan dan penegakan hukum lemah, pungli bakal marak," ujar Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN), Djoko Haryono, Selasa (20/11).
Apalagi, ada ketentuan, bukti pelaporan pemborongan dari intansi terkait di daerah ini harus diterbitkan paling lambat sepekan sebelum pelaksanaan. "Ini bisa memancing permainan antara pengawas ketenagakerjaan dengan perusahaan alih daya sehingga merugikan buruh," tutur Djoko.
Komite pengawas, menurut Djoko, tidak bakalan mampu berbuat banyak dalam menindak penyimpangan di lapangan. "Komite pengawas cuma bisa mengimbau, karena dasar pembentukannya bukan lewat undang-undang," tandasnya.
Wisnu Wibowo, Ketua Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) menilai, penambahan alur birokrasi dalam perizinan pemborongan bisa memicu biaya tinggi yang merugikan pengusaha, selain memakan waktu. "Misalnya, akan menyulitkan bagi perusahaan yang berpusat di Jakarta saat mengurus izin proyek pemborongan di Bandung," ungkapnya.
Tapi, Menakertrans Muhaimin Iskandar menjamin komite pengawas yang beranggotakan unsur tripartit nasional bisa menjalankan fungsinya dalam mengawasi hubungan industrial. "Tugas komite pengawas adalah memastikan perusahaan menaati aturan," ujarnya.
Arif Wicaksono Aryadi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News