Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 berdampak signifikan terhadap komitmen pemerintah dalam transisi energi.
Salah satu yang dicermati adalah Paragraf 5 terkait perubahan iuran produksi/royalti produk hilirisasi batubara menjadi nol persen (0%).
Mengutip hasil kajian Center of Economics and Law Studies (Celios), kebijakan royalti 0% untuk turunan barubara merupakan langkah mundur dalam upaya menurunkan emisi karbon.
Selain kerugian yang dialami dari sisi lingkungan, Celios melakukan estimasi perhitungan kerugian negara akibat pemberlakuan royalti 0% batubara.
Baca Juga: Royalti Nol Persen Hilirisasi Batubara Berpotensi Rugikan Negara Rp 33,8 Triliun
Diperkirakan terdapat potensi kerugian negara mencapai Rp 33,8 triliun per tahun dengan asumsi produk turunan batubara mencapai 23% dari total produksi batubara.
Dalam jangka panjang, kerugian negara dapat menembus angka Rp 676,4 triliun. Tentu, ini bukanlah angka yang kecil di tengah upaya mencegah pelebaran defisit APBN.
"Berdasarkan perhitungan Celios, apabila insentif ini diberlakukan dapat memicu terjadinya kerugian bagi negara sebesar Rp 33,8 triliun per tahun. Oleh karena itu implementasi Perpu Cipta Kerja harus secara tegas dibatalkan," ujar Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, Rabu (1/2).
Celios melihat, kehilangan royalti akibat kebijakan hilirisasi batubara akan berdampak terhadap pelebaran defisit anggaran pada 2023.
Sebelumnya pemerintah telah menetapkan batas defisit di bawah 3% atau sebesar 2,84% setara Rp 598,2 triliun.
Menurutnya, target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 berisiko melesat akibat pemberian insentif Perpu Cipta Kerja ke sektor batubara.
Baca Juga: DPR: Pemerintah Harus Selektif Berikan Royalti 0% untuk Hilirisasi Batubara
Kehilangan royalti yang seharusnya diterima pemerintah dari sektor batubara akan menambah hingga 5,7% dari total defisit anggaran 2023.
Alhasil, pelebaran defisit anggaran akibat insentif yang tidak tepat sasaran memiliki andil terhadap penambahan jumlah utang baru.
Di tengah naiknya tingkat suku bunga dan ancaman berkurangnya minat investor negara maju membeli instrumen surat utang negara (SUN) negara berkembang. "Kondisi ini akan menciptakan beban utang yang cukup berat bagi APBN," tulis Celios dalam kajiannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News