Reporter: Titis Nurdiana | Editor: Titis Nurdiana
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pasar keuangan Indonesia masih dag dig dug menunggu kepastian rapat The Federal Open Market Committee (FOMC) pertengahan Juni 2018 nanti. Banyak yang yakin kalau Bank Sentral Amerika Serikat (AS) akan kembali menaikkan suku bunganya.
Jika benar, maka ini adalah kenaikan kedua pasca Bank Sentral AS menaikkan bunganya pada Maret lalu sebesar 0,25% ke level 1,5%-1,75%, namun memutuskan mempertahankan bunga acuan pada awal Mei lalu.
Kenaikan suku bunga AS akan membuat imbal hasil (yield) surat berharga negeri Paman Sam akan naik. “Jika US treasury yield naik lagi, maka emerging market bisa goyang lagi,” ujar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) kepada KONTAN (29/5).
Hingga 28 Mei, US Treasury Yield 10 tahun di level 2,931. Kenaikan imbal hasil suku bunga AS dikhawatirkan akan menjadi pencetus pembalikan dana-dana panas (hot money) dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Saat ini, yield 10 tahun Surat Utang Negara (SBN) sebesar 7,153 (28/5). Ini artinya, selisih imbal hasil SBN 10 tahun dengan US Treasury 10 tahun sebesar 4,222.
Agar dana-dana asing tetap bertahan, pilihan bank sentral Indonesia memang tak banyak, selain menaikkan suku bunga acuan atau 7 day repo rate. Jika BI menaikkan suku bunga bunga acuannya 25 bps, maka suku bunga acuan akan menjadi 4,75%.
Menurut Mirza, struktur ekonomi Indonesia hingga saat ini masih banyak dikuasai oleh dana-dana asing, utamanya di pasar keuangan yakni pasar saham maupun surat utang negara. Catatan KONTAN, dana asing di pasar keuangan Indonesia mencapai lebih dari Rp 800 triliun.
Apalagi, necara transaksi berjalan juga masih defisit. Hingga kuartal I 2018, necara transaksi berjalan atau current account masih defisit US$ 5,5 miliar atau 2,1% terhadap PDB. Angka ini lebih rendah dari defisit pada kuartal sebelumnya yang mencapai US$ 6,0 miliar atau 2,3% terhadap PDB. Defisit transkaksi berjalan diperkirakan akan melebar seiring dengan pembayaran deviden oleh perusahaan kepada pemegang saham serta pembayaran utang.
Apalagi, negara emerging lain juga sudah menaikkan suku bunga. Bank sentral China semisal, sudah kembali mengerek suku bunga. Senin (28/5) lalu, bank sentral China menaikkan suku bunga bertenor 28-hari atau 28-day reverse repo rate sebesar 5 basis poin (bps).
Mengutip Reuters, kenaikan suku bunga acuan ini dilakukan menyusul kenaikan sebelumnya dalam tenor lain selama dua bulan terakhir. Berdasarkan keterangan resmi Bank Rakyat China di situsnya, suku bunga 28-day reverse repo rate dinaikkan dari sebelumnya 2,80% menjadi 2,85%.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Mirza masih enggan berkomentar atas rencana bank sentral ke depan. Yang pasti, Rabu besok (30/5). BI akan menggelar rapat Dewan Gubernur BI tambahan (insidentil).
Tapi yang jelas, Gubernur BI Perry Warjiyo sudah melempar sinyal samar terkait kenaikan suku bunga acuan. Menurutnya, BI akan memprioritaskan kebijakan untuk menstabilkan kurs dengan kebijakan suku bunga dan intervensi ganda. Yakni dengan mensuplai valuta asing atau foreign exchange serta membeli surat utang negara (SBN) dari pasar sekunder. Hingga saat ini, BI sudah membeli Rp 50 triliun SBN yang dijual investor asing.
BI juga akan terus melakukan koordinasi dengan pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk bersama menstabilkan kurs rupiah. Misalnya, dalam hal lelang SBN, buy back, serta mendorong pertumbuhan, dan stabilitas keuangan.
Perry juga mengaku dalam waktu dekat akan bertemu dengan bankir dan pelaku usaha untuk menyakinkan pentingnya menjaga stabilitas keuangan dan membentuk persepsi positif dalam kondisi perekonomian saat ini.
Jadi bersiaplah menghadapi kenaikan bunga.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News