kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Inilah enam pertimbangan penting memasukkan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP


Kamis, 10 Juni 2021 / 10:54 WIB
Inilah enam pertimbangan penting memasukkan pasal penghinaan presiden di RUU KUHP
ILUSTRASI. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan pemerintah mempertahankan pasal penghinaan presiden karena Indonesia tidak mau jadi negara liberal. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.


Reporter: Siti Masitoh, Syamsul Ashar | Editor: Syamsul Azhar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoli menegaskan, Pemerintah kembali mengusulkan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) karena Indonesia tidak ingin menjadi sebuah negara yang liberal.

"Berbeda dengan apa yang diputuskan oleh mahkamah konstitusi, negara kita menjadi sangat liberal kalau kita membiarkan pasal penghinaan presiden ini tidak jadi ada dalam RUU KUHP,” tegas Yasonna, Rapat Kerja  (Raker) Komisi III DPR RI dengan Kementrian Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Rabu (9/6).

Definisi pasal penghinaan presiden yang dimaksud Yasonna adalah, jika penghinaan tersebut menyangkut dengan personal dari presiden dan wakil presiden. 

Pasal penghinaan presiden ini  mengatur seperti menghina fisik, atau kalimat yang tidak pantas. Terkecuali seseorang mengkritik kinerja presiden atau pemeritnahan dan kebijakannya, bukan menjadi ranah pasal penghinaan presiden.

“Kita tahu lah, presiden kita sering dituduh secara personal dengan segala macam isu, tapi dia tenag-tenag saja. Beliau mengatakan kepada saya tidak ada masalah dengan pasal itu. Tetapi, apakah kita akan biarkan presiden yang akan datang dibegitukan?,” ujar Yasonna.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan sebelum dirinya menjadi Menko Polhukam ada polemik perlu atau tidaknya pasal penghinaan Presiden ini masuk KUHP.

Mahfud melalui akun twitternya mengaku dirinya telah menanyakan sikap Presiden Joko Widodo terhadap pasal penghinaan presiden ini. "Jawabnya, terserah legislatif, mana yg bermanfaat bagi negara. Kalau bagi Presiden secara pribadi, masuk atau tidak masuk sama saja, toh presiden sering dihina tapi tak pernah memperkarakan," kata Mahfud.

Presiden Jokowi hanya berpesan yang terpenting dalam pembahasan RUU KUHP menyangkut pasal penghinaan presiden ini, apa yang baik bagi negara,

Menurut Mahfud isi dari pasal pasal di RUU KUHP itu telah digarap sejak lama yakni pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada saat itu Menteri Hukum dan HAM  Hamid Awaluddin. 

"Waktu itu (tahun 2005) saya anggota DPR. Menkum-HAM memberitahu ke DPR bahwa Pemerintah akan mengajukan RKUHP baru. Ketua Tim (penyusun RUU KUHP) adalah Prof. Muladi yang bekerja di bawah Pemerintahan Presiden SBY. 

Sementara penghapusan Pasal Penghinaan Kepada Presiden dilakukan pada tahun 2006 atau jauh sebelum Mahfud MD masuk memimpin Mahkamah Konstitusi. 

"Saya menjadi hakim MK pada April 2008. Sebelum saya jadi Menko RKUHP, RUU KUHP sudah disetujui oleh DPR yaitu pada September 2019, namuun pengesahannya di Paripurna DPR ditunda," terang Mahfud MD. 

Seperti kita tahu Mahkamah Konstitusi telah mencabut pasal penghinaan presiden melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006.

SELANJUTNYA>>>




TERBARU

[X]
×