Reporter: Rahma Anjaeni | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) Global Rating mempertahankan Sovereign Credit Rating atau peringkat utang Indonesia tetap BBB/A-2. Namun, S&P menurunkan outlook utang Indonesia dari sebelumnya stabil menjadi negatif.
Menurut S&P, revisi outlook dari stabil menjadi negatif ini menggambarkan risiko yang lemah atas kondisi fiskal pemerintah dalam menghadapi pandemi virus Corona (Covid-19).
Baca Juga: Kans rupiah menguat di awal pekan masih ada karena sentimen ini
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Alexander Sugandi mengatakan, perhatian utama S&P dalam revisi ini terletak pada peningkatan risiko eksternal dan risiko fiskal pemerintah Indonesia.
Peningkatan resiko fiskal ini, terutama berkaitan dengan budget defisit yang naik dan utang yang naik untuk membiayai defisit, salah satunya via penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). "Biasanya jika rating agency memberikan negative outlook pada suatu negara, sovereign credit rating negara tersebut berisiko mengalami penurunan dalam 1 atau 2 tahun ke depan," ujar Eric kepada Kontan.co.id, Minggu (19/4).
Ini akan berpengaruh pada kemampuan negara tersebut dalam mengatasi berbagai risiko yang menjadi perhatian dari rating agencies, seperti budget defisit, utang publik dan ULN, serta berbagai indikator makroekonomi lainnya.
Pemerintah Indonesia sendiri, telah memutuskan untuk memperlebar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dari sebelumnya Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari produk domestik bruto (PDB), menjadi Rp 853 triliun atau 5,07% dari PDB.
Baca Juga: Begini proyeksi IHSG untuk sepekan ke depan
Eric mengatakan, apabila Indonesia dapat melakukan perbaikan, maka outlook-nya bisa kembali ke arah stabil dan peringkatnya tidak diturunkan. Namun, jika tidak ada perbaikan atau malah memburuk kondisinya, rating-nya bisa diturunkan.
"Jika suatu negara mengalami rating downgrade, maka risiko berinvestasi di surat utang negara tersebut dianggap meningkat. Akibatnya, bisa terjadi capital outflows karena portofolio investor asing akan mengurangi penempatan dana mereka di surat utang negara," paparnya.
Capital outflows ini kemudian akan menekan mata uang negara. Selain itu, rating downgrade juga akan membuat imbal hasil (yield) dari surat utang luar negeri akan naik, karena yield berbanding terbalik dengan harga.
Jadi ketika terjadi penjualan surat utang, maka harga surat utang akan turun dan yield naik. Kenaikan yield ini yang kemudian akan membebani APBN, karena pemerintah harus membayar yield yang lebih tinggi. "Namun, perlu diingat bahwa S&P kan baru mengubah outlook-nya saja, bukan rating-nya. Jadi berita ini walau bisa menaikkan yield, tapi hanya sebentar saja mempengaruhi pasar SBN," kata Eric.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News