Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengamat Pajak Darussalam menilai tiga tahapan reformasi pajak, yakni reformasi kelembagaan, administrasi perpajakan, dan aturan perpajakan, bisa mendongkrak penerimaan negara. Langkah pembenahan struktural tersebut wajib dilakukan guna menggenjot penerimaan pajak.
Pernyataan tersebut disampaikan Darussalam menanggapi permintaan Presiden Jokowi mengenai penambahan target pajak tahun 2015 sebesar Rp 600 triliun. Menurut Darussalam, target penambahan pajak tersebut mustahil bisa diwujudkan tanpa diiringi sejumlah pembenahan struktural yang menjadi penghambat pertumbuhan penerimaan pajak selama ini.
“Sebelum pembenahan tiga hal tersebut dilakukan, jangan banyak berharap penerimaan pajak bisa melonjak. Saat ini, tren pertumbuhan pajak dari tahun ke tahun hanya 10% hingga 20%, jadi enggak mungkin bisa tumbuh Rp 600 triliun yang artinya tumbuh mencapai 50% tanpa ada pembenahan,” kata Darussalam dalam keterangannya, Senin (24/11).
Kebijakan pembenahan tersebut, lanjutnya, akan mendorong ekstensifikasi pajak. Subyek pajak dari orang pribadi atau perusahaan diyakininya bisa bertambah. “Tentu ekstensifikasi pajak ini mesti dibarengi dengan langkah intensifikasi yang baik,” serunya.
Dia menyarankan, Direktur Jenderal Pajak yang baru dari hasil lelang jabatan, tidak dibebani dahulu target pajak yang tinggi, lantaran pembenahan tiga hal di atas membutuhkan waktu setidaknya dua tahun. Namun, ia mengapresiasi proses lelang jabatan Dirjen Pajak yang transparan dengan Tim Pansel yang memiliki integritas dan melibatkan PPATK/KPK.
“Ini demi membangun pondasi awal perpajakan yang kuat. Dalam dua tahun tersebut pun, bukannya penerimaan tak tumbuh, tetap tumbuh, tapi tumbuh signifikannya dua tahun ke depan, hasil dari reformasi yang dilakukan. Kita jangan melulu berpikiran untuk jangka pendek saja,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako. Menurutnya, tanpa pembenahan dan gebrakan baru, target pajak yang tinggi menjadi sesauatu yang tak masuk akal untuk diraih.
Tak tercapainya penerimaan pajak selama ini, menurutnya dikarenakan minimnya partisipasi penduduk Indoensia yang membayar pajak. Padahal potensi pajak dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar juga sangat besar.
“Dari 250 juta penduduk, yang punya penghasilan dan wajib bayar pajak itu sekitar 50%. Tapi yang terdaftar hanya 30 juta saja, dan itu pun yang patuh membayar pajak hanya 3 juta saja. Ini perlu kebijakan khusus,” ucapnya.
Menurut Ronny, sejauh ini sistem perpajakan kita memiliki kelemahan dalam mengindentifikasi siapa saja yang wajib membayar pajak. “Sistemnya harus dibuat sederhana, setiap yang punya penghasilan itu harus punya NPWP, pajak bisa dibayar online dan sebagainya,” lanjutnya.
Ia mengatakan, obat kuat untuk mengatasi ini adalah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty). Pengampunan pajak yang dimaksudnya bukanlah menghilangkan kewajiban tunggakan pajak kepada wajib pajak, melainkan memangkasnya agar hanya membayar pajak sekian persen dari tunggakan.
Ia yakin hal ini bisa mendongkrak partisipasi pajak yang untuk kemudian hari bisa signifikan menambah penerimaan pajak. “Jika ada hambatan politik, buat saja dalam bentuk Perpu (peraturan pengganti Undang-undang, kan memang mendesak, kita butuh uang. Setelah diampuni, ke depannya yang masih mengemplang pajak langsung saja dipidana,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News