kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ini rekomendasi DJSN pasca Taspen dan Asabri batal melebur ke BPJS Ketenagakerjaan


Rabu, 03 November 2021 / 18:26 WIB
Ini rekomendasi DJSN pasca Taspen dan Asabri batal melebur ke BPJS Ketenagakerjaan
ILUSTRASI. Ini rekomendasi DJSN pasca Taspen dan Asabri batal melebur ke BPJS Ketenagakerjaan


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan PT Taspen dan PT Asabri tidak melebur ke BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini tercantum dalam putusan MK nomor 72/PUU-XVII/2019 dan putusan MK nomor 6/PUU-XVIII/2020.

Pasca putusan tersebut, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) merekomendasikan dua opsi kebijakan untuk menindaklanjuti putusan MK. Pertama, skema fragmentasi atau segmentasi. Dalam skema ini penyelenggaraan jaminan sosial untuk ASN, anggota TNI/Polri dan pekerja swasta dilakukan secara terpisah.

Kedua, skema multipilar. Dalam skema ini sistem jaminan sosial nasional dengan manfaat dasar diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan, program kesejahteraan pegawai atau manfaat karyawan diselenggarakan oleh Taspen, Asabri dan perusahaan asuransi komersial.

“Berdasarkan hasil kajian dan analisa di atas, DJSN merekomendasikan Opsi Kebijakan dengan penerapan Skema Multi Pilar,” ujar Anggota DJSN Muttaqien kepada Kontan, Rabu (3/11).

Baca Juga: Defisit BPJS Kesehatan masih jadi persoalan dalam program jaminan kesehatan nasional

Rekomendasi tersebut diusulkan dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, dengan diterapkannya skema multi pilar, seluruh pekerja, baik di sektor swasta maupun pemerintahan berhak untuk mendapatkan manfaat dasar dengan mengikuti program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Hak atas manfaat dasar ini tetap terjamin walaupun pekerja berpindah pekerjaan dari satu sektor ke sektor lain, misalnya berpindah dari sektor swasta ke sektor publik/pemerintahan atau sebaliknya.

Kedua, setiap pemberi kerja, baik di sektor swasta maupun pemerintahan dapat menyelenggarakan program kesejahteraan pegawai/manfaat karyawan dalam bentuk dana pensiun maupun asuransi sebagai penghargaan bagi karyawan/pegawainya dalam rangka menarik orang-orang terbaik dari pasar kerja, mempertahankan loyalitas karyawan/pegawai guna meminimalisir turn over karyawan/pegawai, dan memberikan perlindungan tambahan bagi karyawan/ pegawainya atas risiko pekerjaan yang sifatnya sangat khusus.

Baca Juga: Dewan Jaminan Sosial Nasional sebut kepesertaan JKN tumbuh 43%

Ketiga, peran PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) adalah sebagai badan penyelenggara dalam pilar dua (program kesejahteraan pegawai/manfaat karyawan) bagi Pejabat Negara, Pegawai ASN, dan Anggota TNI/Polri, sebagaimana halnya di sektor swasta yang memberikan program kesejahteraan pegawai salah satunya diselenggarakan oleh Dana Pensiun dan perusahaan asuransi komersial.

Dengan usulan penerapan skema multi pilar, DJSN berpendapat badan hukum PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) tidak perlu diubah menjadi badan hukum publik berbentuk BPJS dan dapat tetap berbentuk BUMN atau diubah menjadi badan hukum lainnya sesuai kebutuhan berdasarkan keputusan Pemerintah.

Sementara itu, Akademisi Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menyebut putusan MK menegaskan beberapa prinsip. Pertama, pembentukan lembaga penyelenggara jaminan sosial haruslah dengan Undang-Undang. Tidak boleh dengan dasar hukum lain, termasuk peraturan pemerintah. "Jadi harus dengan UU," kata Oce.

Kedua, lanjut Oce, badan hukum lembaga penyelenggara jaminan sosial harus berbentuk badan hukum publik, tidak boleh persero (badan hukum privat, red). Sebab ada perbedaan prinsip antara badan hukum publik dan privat. "BPJS harus nirlaba, bukan profit," ucap dia.

Jadi, sambung Oce, jika nanti ada pembentukan BPJS baru, apakah melalui peleburan atau pembentukan baru, maka prinsipnya nilai manfaat untuk peserta tidak boleh berkurang.

"Ke depan, desain politik hukum lembaga penyelenggara jaminan sosial, apakah menjadi 2 atau 3, tergantung pada pembentuk kebijakan (pemerintah dan DPR). Bisa juga opsinya, pemerintah merubah UU SJSN untuk menegaskan desain konsolidasi lembaga penyelenggara Jamsos. Oleh karena itu, DJSN perlu dilibatkan untuk merumuskan arah kebijakan ke depan," terang Oce.

Selanjutnya: CELIOS ramal pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 di kisaran 3%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×