Sumber: TribunNews.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Kejaksaan Agung saat ini terus melakukan penyelidikan kasus pengalihan hak atas piutang (cassie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang dijual kepada Victoria Securities International Securities (VSIC) yang tidak memiliki hubungan dengan Victoria Securities Indonesia.
Kasus tersebut diduga bermula saat sebuah perusahaan bernama PT Adyaesta Ciptatama meminjam sekitar Rp 266 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990. Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.
Dari dokumen yang dihimpun, Medio 2002, BPPN menggelar lelang hak tagih atas utang AG sebesar Rp 266.400.195.000. Lelang tersebut diikuti oleh tiga pihak yakni PT First Capital, Harita Kencana Securities dan VSIC. Lelang tersebut dimenangkan oleh PT First Capital dengan penawaran Rp 69,5 miliar.
Setelah memenangkan lelang PT First Capital membatalkan pembelian. Alasannya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGU) No 1/Karanganyar seluas 300 hektare yang dijadikan jaminan hanya berupa fotocopy. Pasca pembatalan pembelian tersebut VSIC kembali melakukan penawaran tanggal 20 Agustus 2003.
Belakangan tanah 300 hektare itu, kini tengah masuk penyelidikan Bareskrim Polri, dimana PT Adyaesta Ciptatama, Johnny Wijaya, diduga melakukan penggelapan.
"Pasti akan kita (Bareskrim) panggil (Jonhny Wijaya). Kasus itu kan sedang ditangani berdasarkan laporan yang masuk," kata Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (25/8/2015).
Melalui surat notifikasi BPPN Nomor Prog-7207/BPPN/0903, tanggal 1 September 2003 VSIC diumumkan sebagai pemenang. Sepekan setelah diumumkan pihak VSIC langsung membayar kewajiban jual-beli dengan obyek hak tagih terhadap AG dengan nilai Rp 32 miliar. Perjanjian tersebut ditandatangani dalam Perjanjian Pengalihan Piutang No 57 di depan notaris Eliwaty Tjitra SH tanggal 17 November 2003.
Seiring waktu, pihak Adyaesta ingin menebus aset tersebut, namun VSIC menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu. Pasalnya, nilai utang tersebut setelah dikalkulasi dengan jumlah bunga dan denda, saat ini sudah bernilai Rp 3,1 triliun.
Pada 2013, pihak Adyaesta melalui kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset yang dinilai merugikan negara. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.
Pembelian aset inilah yang kemudian dijadikan dasar Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Rendahnya nilai jual pengalihan piutang dinilai merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Padahal jika merunut kebijakan BPPN kala itu memang memberikan diskon besar-besaran kepada siapa saja yang mau membeli aset dari obligor bermasalah.
Setidaknya ada sekitar 3.000-4.000 dengan status lengkap data kepemilikannya. Aset bermasalah itu diperkirakan berjumlah 2.400-3.400 aset. Total nilai aset saat ini mencapai ratusan triliun. Kondisi inilah yang membuat pasar tidak merespon positif lelang yang dilakukan BPPN. Sampai akhirnya muncullah ide untuk memberikan diskon.
"Bagaimana dengan kasus-kasus yang hari ini masih banyak pertanyaan seperti kasus BLBI itu?. Menurut saya ini harus dituntaskan," kata Anggota Komisi III DPR, Desmon J Mahesa, menanggapi langkah Kejagung ungkap Kasus Cessie, Selasa (26/8). (Sanusi)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News