Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah kelemahan dalam sistem Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Potensi masalah dan kelemahan sistem terbagi ke dalam tiga tingkatan, yakni direktif, managerial dan tingkatan operasional. Contohnya pada tataran directive dan aspek kelembagaan, ada potensi terjadinya konflik kepentingan antara Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengatakan, kajian didasarkan pada besarnya dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan yang menyangkut hajat hidup rakyat serta berdampak bagi sistem perekonomian negara secara keseluruhan.
Pada 2013, PT Jamsostek memiliki total aset lebih dari Rp 153 triliun dengan dana investasi hampir Rp 150 triliun, dan hasil investasi Rp 15 triliun. Dana tersebut akan terus membesar bahkan diproyeksikan akan mencapai Rp 2.000 triliun pada 2030. “Pengelolaan dana yang begitu besar harus dibarengi dengan instrumen pengawasan yang baik, kompetensi serta integritas yang tinggi untuk mencegah terjadinya korupsi,” kata Adnan dalam rilis persnya,Selasa (16/12).
Kajian yang diawali pada Februari 2014 ini fokus pada enam aspek, yakni regulasi, kelembagaan, kepesertaan, pelayanan, pembiayaan dan pengawasan baik yang dilakukan di tingkat pusat maupun di daerah. Selain itu, kajian juga memfokuskan pada proses tata kelola di internal BPJS Ketenagakerjaan serta fungsi-fungsi seluruh pemangku kepentingan.
Adnan menambahkan, dalam UU BPJS, Dewan Pengawas bertugas untuk mengawasi Direksi, termasuk menyetujui rencana kerja anggaran tahunan yang disusun direksi. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan kolusi karena gaji dan operasional Dewan Pengawas juga dibiayai dari anggaran Badan.
Karena itu KPK merekomendasikan agar melibatkan pihak eksternal dalam melakukan review rencana anggaran tahunan badan, serta kepada pemerintah agar mengajukan revisi UU 24/2011 untuk menghilangkan potensi konflik kepentingan Dewan Pengawas dalam mengawasi Direksi BPJS-TK.
Pada aspek regulasi, ada ketidakadilan dalam pengenaan sanksi bagi pemberi kerja. Pasal 55 UU 24/2011 disebutkan ancaman pidana selama 8 tahun dan denda satu miliar rupiah bagi pemberi kerja yang menunggak iuran.
Ironinya bagi pemberi kerja yang tidak melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya dalam program Jamsos-TK, hanya akan mendapatkan sanksi administratif berupa tidak mendapatkan layanan publik sesuai dengan pasal 17 UU 24/2011 dan PP 86/2013.
Hal ini tentu tidak memenuhi rasa keadilan, serta tidak mendorong para pemberi kerja yang belum mendaftar untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya dalam program Jamsos-TK, karena risiko ancaman sanksi bila melanggar kewajiban mendaftar lebih ringan dibandingkan ancaman sanksi pidana menunggak iuran.
KPK merekomendasikan agar Pemerintah mengusulkan revisi UU 24/2011 kepada DPR terkait ketentuan sanksi pada pemberi kerja atau perusahaan dalam kewajiban mendaftar program Jamsos-TK dan sanksi terkait kewajiban pemberi kerja atau perusahaan dalam membayar iuran. Sanksi pidana sebaiknya juga dikenakan bagi pemberi kerja atau perusahaan yang tidak mendaftarkan diri dan pekerjanya pada program Jamsos-TK.
Selain itu, KPK juga mendorong agar BPJS TK menyusun usulan perubahan bentuk sanksi yang akan dimasukan dalam usulan revisi UU 24/2011, serta bersama Pemerintah Pusat dan Daerah menyusun sanksi-sanksi administratif yang berat sehingga dapat mendorong para pemberi kerja atau perusahaan untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya.
Sementara itu, KPK juga menemukan persoalan pada tataran manajerial pada aspek kepesertaan, yakni tidak terlaksananya jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja Indonesia (TKI). Pasal 26 ayat (2) huruf e UU 39 tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja, syarat penempatan TKI salah satunya adalah mengikutsertakan dalam program Jamsos-TK dan/atau memiliki polis asuransi. Saat ini hampir semua TKI menggunakan perlindungan dengan polis asuransi.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari seluruh konsorsium asuransi perlindungan TKI, jaminan yang didapatkan TKI hanya berupa perlindungan jiwa dan kerugian saja. Hal ini berarti tidak sesuai dengan penjelasan undang-undang bahwa perlindungan asuransi yang dimaksud sedikitnya sama dengan program Jamsos-TK.
Dalam hal ini KPK mendorong Kementerian Ketenagakerjaan untuk merevisi peraturan tentang pemberian asuransi perlindungan TKI yang sekurang-kurangnya sama dengan program Jamsos-TK yang diselenggarakan oleh BPJS-TK, serta mengikutsertakan TKI dalam program BPJS-TK sebagai perlindungan bagi TKI.
Persoalan lain pada aspek kepesertaan, pekerja yang tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), tidak dapat mendaftar pada program ini. Sistem pendaftaran BPJS-TK menggunakan NIK sebagai persyaratan utama sesuai dengan pasal 101 (2) UU 24 tahun 2013 jo UU 23 tahun 2006 tentang Adminduk.
Berdasarkan hasil observasi, ditemukan cukup banyak pekerja yang memiliki kesadaran untuk mendaftar sebagai peserta namun tidak dapat terlayani karena tidak memiliki NIK terutama terjadi pada pekerja di sektor perkebunan dan buruh harian lepas, Tenaga Kerja Asing yang tidak memiliki NIK.
Atas persoalan ini, KPK merekomendasikan agar BPJS TK menyusun nota kesepakatan bersama dengan Dinas Kependudukan Pemerintah Daerah setempat agar dapat memfasilitasi pemberian NIK kepada para pekerja yang belum memiliki, serta menyusun kebijakan bagi pekerja yang belum memiliki NIK agar tetap dapat mendaftar sebagai peserta dengan identitas setara NIK.
Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengaku memiliki komitmen yang kuat untuk segera melaksanakan dan menindaklanjuti rekomendasi KPK. "Termasuk mengenai usulan revisi undang-undang, kami hanya akan mengajukan yang direkomendasikan KPK," katanya.
Sementara itu Dirut BPJS TK Elvyn G. Masassya juga mengaku akan segera menindaklanjuti rekomendasi KPK, terutama mengenai pengelolaan data, klaim, peningkatan pengawasan internal dan peningkatan kepatuhan pemberi kerja dari BUMN dan non BUMN. KPK meminta masing-masing pihak untuk menyusun rencana aksi sesuai dengan rekomendasi yang telah disampaikan paling lambat satu bulan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News