Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat mengapresiasi kebijakan Kementerian Kehutanan yang mengusung paradigma tata kelola ekologis atau ecological rule of law, sebuah pendekatan yang menempatkan hukum sebagai alat pemulihan dan perlindungan sistem kehidupan.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Nasional Perkumpulan Tenaga Ahli Lingkungan Hidup Indonesia (Pertalindo), Laode Ongkoimani menyatakan, dukungannya terhadap arah kebijakan Kementerian Kehutanan yang dinilai selaras dengan prinsip negara hukum ekologis dan mandat konstitusi untuk mengelola sumber daya alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Laode menekankan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan biodiversitas dan tutupan hutan tropis yang luas, memegang tanggung jawab global dalam menghadapi krisis lingkungan. Ia menyoroti tiga krisis planet yang tengah dihadapi dunia: perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
“Menghadapi triple planetary crisis, arah kebijakan kehutanan nasional harus mencerminkan paradigma negara hukum ekologis. Hukum tidak hanya mengatur, tetapi juga harus melindungi dan memulihkan,” kata Laode dalam keterangannya, Jumat (6/6).
Baca Juga: Cegah Kebakaran Hutan di Sumatra Selatan, Kementerian Lingkungan Hidup Gandeng Gapki
Lebih lanjut, Laode mengutip Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Frasa ‘dikuasai oleh negara’ harus dimaknai secara progresif, yakni bukan sebagai alat eksploitasi yang sentralistik, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menjamin keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis,” ujar akademisi Universitas Halu Oleo (UHO) tersebut.
Mengutip pemikiran Notonagoro, Laode menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk relasi antara negara dan tanah, yakni negara sebagai subjek privat, negara sebagai entitas publik, dan negara sebagai representasi rakyat secara kolektif. Dalam konteks kehutanan, menurut dia, tafsir ini menegaskan posisi negara sebagai pelindung dan pemberdaya rakyat, bukan sekadar regulator.
“Oleh karena itu, skema seperti perhutanan sosial, perlindungan hutan adat, investasi hijau, dan agroforestri adalah pengejawantahan nyata penguasaan negara yang bersifat representatif,” kata Laode.
Laode memaparkan lima pilar utama yang perlu menjadi fokus dalam pengelolaan kehutanan nasional ke depan. Pertama, Integrasi Keadilan Sosial dan Ekologis. Menurut Laode, penguatan perhutanan sosial, restorasi ekosistem, dan investasi hijau merupakan langkah konkret integrasi antara keadilan ekologis dan keadilan sosial.
Baca Juga: Aspekpir Keluhkan Lahan Kebun Sawit Bersertifikat Masuk dalam Peta Kawasan Hutan
“Masyarakat lokal tidak boleh hanya jadi objek kebijakan, tapi harus menjadi subjek sah yang diakui hukum dalam menjaga dan mengelola hutan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang pengakuan hutan adat sebagai hutan yang berada di luar kawasan hutan negara.
Kedua, Transformasi Digital Kehutanan. Kata dia, Digitalisasi layanan kehutanan, menurut Laode, menjadi tonggak penting dalam membangun sistem tata kelola yang transparan, efisien, dan akuntabel.
“Namun, langkah ini juga harus diiringi dengan penguatan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur digital hingga ke akar rumput, agar tidak menciptakan kesenjangan baru,” ujarnya.
Ketiga, Agroforestri dan Ketahanan Pangan Lokal. Laode menyebut agroforestri sebagai bentuk nyata ekonomi sirkular yang menggabungkan konservasi dan produktivitas. “Pendekatan ini memungkinkan masyarakat memanfaatkan hutan secara lestari dan memperkuat swasembada pangan nasional dari sumber lokal,” katanya.
Keempat, Perlindungan Hutan sebagai Komitmen Global. Laode mendorong agar perlindungan hutan Indonesia tidak hanya dimaknai sebagai agenda nasional, tetapi juga sebagai bagian dari kontribusi Indonesia terhadap stabilitas iklim global.
“Kita harus memperkuat posisi tawar dalam forum internasional seperti REDD+ dan skema pembiayaan iklim global, agar beban konservasi tidak sepenuhnya ditanggung negara berkembang,” tegasnya.
Kelima, Penerapan One Map Policy. Kebijakan satu peta dinilai sebagai fondasi penting untuk menyatukan basis data kehutanan dan menyelesaikan konflik lahan. “Peta tunggal akan memperkuat legitimasi kebijakan dan meminimalkan tumpang tindih izin serta klaim penguasaan lahan,” ujar Laode.
Di akhir keterangannya, Laode mengajak seluruh elemen bangsa untuk melihat hutan bukan hanya sebagai objek ekonomi, tetapi sebagai simpul peradaban yang menyatukan nilai-nilai ekologis, sosial, ekonomi, dan spiritual.
“Kebijakan sudah diletakkan sebagai fondasi penting. Sekarang tinggal bagaimana implementasinya dijalankan dengan konsisten, kolaboratif, dan berbasis partisipasi seluruh rakyat. Momentum ini harus dijaga, agar kita tidak membangun di atas reruntuhan hutan, tetapi bersama hutan,” pungkasnya.
Selanjutnya: BRI Life Raih Penghargaan Bergengsi Berkat Terapkan Omnichannel Marketing
Menarik Dibaca: Ciri-ciri WhatsApp Web Disadap yang Jarang Disadari, Ini Tips Ampuh Mengatasinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News