Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII), Sripeni Inten Cahyani menyoroti lambannya kepastian regulasi terkait Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk partially oriented yarn-drawn textured yarn (POY-DTY).
Hal ini disampaikan Sripeni menanggapi laporan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) yang menyatakan bahwa dua pabrik gulung tikar, dan investasi senilai US$ 250 juta (sekitar Rp 4 triliun, kurs Rp16.425) tertahan akibat belum diberlakukannya BMAD terhadap produk tersebut dari China.
Sripeni mengatakan, industri hulu seharusnya menjadi prioritas karena Indonesia mempunyai semua modal dasarnya. Yakni sumber daya alam yang melimpah, teknologi yang terbukti, dan sumber daya manusia yang kompeten.
Baca Juga: Malaysia Hentikan Bea Masuk Anti Dumping, Ekspor Serat Selulosa RI Berpotensi Naik
"Bahkan pengembangannya tidak selalu harus dimulai dari nol. Banyak industri yang ada saat ini bisa direvitalisasi dengan cepat jika ada kepastian dari pemerintah,” ujar Sripeni dalam keterangannya, Kamis (22/5).
Seperti diketahui, temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) semakin memperkuat kondisi nyata yang dialami industri. KADI sendiri telah melakukan penyelidikan selama hampir satu tahun dan menemukan adanya praktik dumping oleh eksportir asal China.
Praktik ini tidak hanya memukul industri lokal. Tetapi juga menghambat realisasi investasi di sektor hulu tekstil yang semestinya bisa menjadi penggerak substitusi impor.
Menurut Sripeni, BMAD bukan sekadar tarif, melainkan bagian dari strategi besar untuk menjaga kedaulatan industri nasional. Jika tidak ada perlindungan dari praktik perdagangan tidak adil seperti dumping, maka industri lokal akan terus terpuruk dan ketergantungan terhadap impor akan semakin tinggi.
Baca Juga: Dampak Penerapan Bea Masuk untuk Benang Terhadap Industri Tekstil
Sebab itu, pemerintah harus memberikan sinyal yang jelas. Karena investasi akan datang jika ada kepastian hukum dan arah kebijakan yang berpihak pada industri nasional.
"Selama ini yang terjadi justru sebaliknya, industri yang sudah berjalan dipaksa berhenti, sementara pemain asing mendapat kemudahan luar biasa,” ungkap dia.
Sripeni juga mengingatkan bahwa visi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% dan swasembada energi hanya bisa dicapai jika sektor industri hulu tekstil tumbuh signifikan.