Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Target pemerintah untuk meningkatkan kontribusi industri manufaktur hingga 20% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025 dinilai akan sulit tercapai. Bahkan, ada potensi sektor ini justru menyusut lebih jauh dalam struktur ekonomi nasional.
Asal tahu aja, selama satu dekade terakhir, kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami tren penurunan dari 21,08% pada 2014, menjadi 18,67% pada 2023, meski pun ada kenaikan di 2024 menjadi 18,98%.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman, mengatakan, sejumlah indikator menunjukkan pelemahan sektor manufaktur sejak awal tahun 2025, tercermin dari tren data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia dalam beberapa bulan terakhir, yang konsisten berada di bawah level ekspansi, atau di bawah 50.
Menurutnya data ini mencerminkan perlambatan aktivitas produksi, pesanan baru, dan adanya tekanan biaya input.
Baca Juga: PMI Manufaktur Juni Masih Kontraksi, Ini Catatan Kemenperin dan Pelaku Industri
“Jika tren ini berlanjut tanpa perbaikan signifikan dalam iklim investasi dan daya saing, maka kontribusi manufaktur (terhadap PDB) kemungkinan justru menurun lebih jauh,” ujar Rizal kepada KONTAN, Jumat (11/7).
Rizal juga mencermati pergeseran struktur ekonomi Indonesia yang kini makin didominasi oleh sektor jasa dan pertanian, yang tumbuh lebih cepat dibanding industri manufaktur. Hal ini berpotensi mempersempit peran strategis manufaktur dalam perekonomian nasional.
Menurutnya, ada dua risiko utama yang harus diwaspadai. Pertama, pelemahan industri manufaktur bisa memperlebar defisit neraca perdagangan barang. Pasalnya, manufaktur selama ini menjadi andalan dalam ekspor produk non-komoditas. Kedua, ada risiko kehilangan momentum industrialisasi, yang membuat Indonesia terjebak dalam status negara berpendapatan menengah (middle-income trap).
Baca Juga: PMI Manufaktur Terus Kontraksi, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Diramal Makin Melemah
Dampak lainnya, penyerapan tenaga kerja formal menurun, serta melemahnya kontribusi manufaktur terhadap penerimaan pajak dari sektor ini, terutama dari pos Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
“Pemerintah sebaiknya segera mengantisipasi dengan kebijakan reindustrialisasi berbasis insentif fiskal yang lebih terarah, penyederhanaan regulasi investasi, dan mendorong penguatan industri substitusi impor dan hilirisasi berbasis teknologi,” jelas Rizal.
Selain itu, langkah konkret seperti percepatan implementasi kawasan industri berorientasi ekspor dan reformasi pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel, juga krusial untuk memulihkan iklim usaha manufaktur nasional.
"Kebijakan moneter dan fiskal pun perlu lebih sinkron, agar manufaktur mendapat ruang ekspansi di tengah tekanan suku bunga global dan volatilitas nilai tukar," ungkap Rizal.
Baca Juga: PMI Manufaktur Lesu Jadi Sinyal Negatif Emiten untuk Jangka Pendek
Selanjutnya: Penjualan Mobil 4WD Melejit pada Juni 2025, Ini Sebabnya!
Menarik Dibaca: Dibimbing.id Rancang Pelatihan Hospitality Berbasis Asesmen Kebutuhan Perusahaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News